Post ADS 1
Post ADS 1

Membedah Ilusi Demokrasi dari Kacamata Tan Malaka



 Oleh : Imam Royani


Demokrasi sering digembar-gemborkan sebagai simbol kebebasan, tetapi kenyataannya jauh dari ideal. Rakyat diberi hak untuk memilih, namun keputusan politik besar dikendalikan elit dan oligarki. Hak formal seperti kotak suara menjadi simbol kosong yang menutupi kenyataan bahwa kekuasaan sesungguhnya berada di tangan minoritas. Ilusi ini menipu rakyat agar percaya mereka memiliki kontrol atas nasib politiknya sendiri.


Pemilu yang seharusnya sarana kedaulatan rakyat malah sering menjadi arena manipulasi politik dan politik uang. Media yang dikendalikan elite memperkuat citra demokrasi, padahal substansi hak rakyat diabaikan. Rakyat yang pasif hanya menyaksikan proses, sementara elit mengatur hasil sesuai kepentingannya. Ilusi demokrasi muncul dari ketidakmampuan rakyat untuk menembus dominasi struktural ini.


Bahkan di negara demokrasi mapan, kebijakan publik kerap bertentangan dengan aspirasi mayoritas. Kesenjangan antara janji politik dan realitas kehidupan rakyat semakin menegaskan demokrasi hanyalah panggung formalitas. Hak memilih formal tidak otomatis menimbulkan kekuasaan nyata bagi rakyat.


Ketidakpercayaan dan apatisme politik menjadi konsekuensi logis. Rakyat merasa suara mereka tidak berpengaruh, sehingga cenderung pasif dan menunggu perubahan lewat prosedur formal semata. Ilusi demokrasi bertahan karena rakyat tidak diberi alat untuk menilai dan mengubah struktur kekuasaan yang nyata.


Demokrasi formal tanpa kontrol sosial dan kesadaran kritis rakyat hanya memperkuat dominasi elit. Agar demokrasi benar-benar nyata, rakyat harus aktif mengawasi, menuntut transparansi, dan menekan kebijakan publik agar selaras dengan kepentingan mereka. Tanpa langkah-langkah ini, demokrasi tetap menjadi ilusi yang memikat namun menipu.


Materialisme, Menguak Struktur Kekuasaan


Tan Malaka dalam Madilog menekankan pentingnya materialisme dalam memahami realitas politik. Demokrasi tidak bisa dilihat sebagai konsep abstrak semata; ia adalah produk kondisi materiil masyarakat. Ketimpangan ekonomi dan politik membuat hak formal seperti pemilu tidak cukup untuk menciptakan kedaulatan rakyat. Ilusi demokrasi muncul karena minoritas menguasai sumber daya politik dan ekonomi.


Materialisme Madilog menuntut rakyat melihat akar masalah tentang siapa yang memiliki kekuasaan materiil, dan bagaimana hal itu memengaruhi kebijakan publik? Rakyat diberi hak formal, tetapi akses mereka terhadap kekuasaan nyata terbatas. Hak pilih formal hanya kosmetik jika kontrol atas materi tetap di tangan elit.


Dominasi elit terlihat dari pengaruh politik uang, korporasi, dan media yang mengatur opini publik. Demokrasi formal hanyalah cerminan dominasi material; rakyat tidak diberdayakan untuk menentukan kebijakan yang menyangkut hidup mereka. Ilusi demokrasi ini semakin jelas ketika mayoritas merasa suaranya tidak berarti.


Materialisme juga menegaskan perlunya kesadaran kritis rakyat terhadap kondisi materiil mereka. Tan Malaka menekankan bahwa hanya dengan memahami struktur kekuasaan secara nyata, rakyat bisa memulai perjuangan untuk demokrasi sejati. Ilusi demokrasi muncul dari ketidakmampuan rakyat membaca realitas ini.


Dengan demikian, demokrasi tidak akan keluar dari ilusi tanpa kesadaran material. Rakyat harus memahami hubungan antara kekuasaan politik dan ekonomi agar hak formal tidak menjadi sekadar simbol kosong. Madilog memberi kerangka berpikir untuk menyingkap ilusi ini dan memperjuangkan kedaulatan rakyat sejati.


Dialektika, Mengurai Kontradiksi Demokrasi


Pendekatan dialektika dalam Madilog membantu menganalisis kontradiksi dalam demokrasi modern. Rakyat diberi hak politik formal, tetapi kekuasaan nyata tetap di tangan elit. Kontradiksi ini membuat demokrasi terlihat sah secara simbolik, namun kehilangan substansi hak rakyat.


Kontradiksi muncul ketika kebijakan publik sering bertentangan dengan aspirasi mayoritas. Contohnya, kebijakan ekonomi yang merugikan rakyat miskin tetap disahkan oleh pemerintah yang dipilih rakyat. Dialektika Madilog menunjukkan bahwa ini bukan kebetulan, melainkan hasil struktur sosial-politik yang timpang.


Dialektika juga menegaskan bahwa dominasi elit menimbulkan resistensi. Rakyat dapat melihat kontradiksi antara janji politik dan praktik nyata, yang menjadi titik kritis untuk perubahan. Tan Malaka menekankan perlunya analisis kontradiksi agar demokrasi bisa diubah dari formalitas menjadi instrumen pemberdayaan.


Analisis kontradiksi mendorong rakyat menilai hubungan sebab-akibat antara kekuasaan elit dan kondisi kehidupan mereka. Ilusi demokrasi terjaga ketika rakyat tidak menyadari kontradiksi ini. Kesadaran kritis adalah kunci untuk mengubah demokrasi menjadi nyata.


Dengan memahami kontradiksi melalui dialektika Madilog, rakyat dapat menemukan titik intervensi politik. Demokrasi sejati muncul ketika rakyat mampu menyeimbangkan dominasi elit dan memperjuangkan hak substansial mereka.


Logika, Menyingkap Ilusi Politik


Tan Malaka menekankan logika kritis untuk menganalisis demokrasi. Rakyat tidak boleh menerima klaim demokrasi tanpa menilai struktur kekuasaan yang sesungguhnya. Analisis logis menunjukkan bahwa formalitas politik sering menipu, sementara substansi hak rakyat diabaikan.


Logika Madilog menuntut pertanyaan tentang mengapa suara rakyat tidak menentukan kebijakan nyata? Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan dari demokrasi formal ini? Tanpa logika kritis, rakyat tetap menjadi objek pasif dari teatrikal politik yang tampak sah.


Logika juga menekankan konsistensi antara prinsip dan praktik. Demokrasi yang sah harus menggabungkan hak formal dan kekuasaan substantif rakyat. Jika tidak, demokrasi hanyalah simbol kosong yang menipu rakyat.


Rakyat yang menggunakan logika Madilog bisa menilai fakta, pola kekuasaan, dan dampak kebijakan. Mereka mampu menyingkap manipulasi politik dan ilusi formal. Demokrasi baru menjadi nyata ketika rakyat menggunakan logika untuk menuntut akuntabilitas.


Dengan logika kritis, rakyat bisa mengubah demokrasi dari formalitas semata menjadi instrumen pemberdayaan. Tan Malaka menegaskan bahwa demokrasi sejati lahir dari kesadaran, analisis, dan perjuangan rakyat, bukan dari simbol kosong yang menipu.


Demokrasi Sejati, Jalan Keluar dari Ilusi


Madilog memberi kunci agar demokrasi keluar dari ilusi tentang kesadaran material, analisis kontradiksi, dan logika kritis. Rakyat harus aktif menuntut transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas agar demokrasi bukan sekadar formalitas. Demokrasi sejati menempatkan rakyat sebagai subjek politik, bukan objek.


Ilusi demokrasi terbentuk karena rakyat pasif, percaya pada simbol formal semata. Partisipasi aktif, pengawasan kebijakan, dan kontrol sosial adalah alat untuk mengubah formalitas menjadi kekuatan nyata. Tan Malaka menekankan bahwa revolusi kesadaran rakyat lebih penting daripada sekadar pergantian pemimpin.


Demokrasi sejati menuntut penguasaan materiil, kesadaran kritis, dan pengorganisasian rakyat. Ketika rakyat memahami struktur kekuasaan, mereka mampu menuntut hak substansial dan menyingkap manipulasi politik. Ilusi demokrasi pun bisa dipecahkan.


Revitalisasi demokrasi memerlukan pendidikan politik, kesadaran historis, dan keberanian untuk melawan dominasi elit. Perjuangan rakyat tidak berhenti pada pemilu, tetapi terus berlangsung melalui kontrol sosial dan politik yang kritis.


Dengan pendekatan Madilog, demokrasi bisa keluar dari ilusi dan menjadi instrumen nyata pemberdayaan rakyat. Rakyat bukan lagi sekadar penonton, tetapi aktor utama dalam menentukan nasib politik dan sosial mereka sendiri.


.Abu Azzam

banner
Post ADS 2