Instruksi KDM Tak Digubris, Sawit Kuningan Jalan Terus. MPK Pertanyakan Komitmen Dinas Terkait.


KUNINGAN, (VOX) — Di tengah retorika kebijakan dan janji penegakan hukum, fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Aktivitas perkebunan sawit di Kabupaten Kuningan terus berjalan tanpa hambatan, meski Surat Keputusan penghentian operasional sudah dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat maupun Bupati Kuningan. Bagi Masyarakat Peduli Kuningan (MPK), situasi ini tidak lagi bisa ditafsir sebagai kelalaian administratif biasa, melainkan sebagai manifestasi dari kegagalan struktural yang disengaja.

“Ada perbedaan fundamental antara tidak tahu dan tidak mau tahu. Dalam kasus ini, negara melalui perangkat birokrasi daerahnya memilih untuk tidak bertindak. Itu bukan kelemahan, itu adalah bentuk kompromi aktif terhadap pelanggaran,” tegas Yudi Setiadi, peneliti lingkungan dan aktivis MPK Jumat Sore (18/7/25).


Dalam beberapa bulan terakhir, MPK menemukan indikasi yang tidak bisa disangkal: distribusi bibit sawit dalam jumlah besar masih terjadi di wilayah utara Kuningan. Sementara di wilayah timur dan selatan, sawit mulai memasuki masa panen awal. Fakta ini berdiri sebagai antitesis terhadap seluruh narasi resmi pemerintah tentang penegakan larangan sawit. Negara, dalam hal ini, tidak hanya absen ia justru beroperasi sebagai fasilitator diam-diam dari pelanggaran itu sendiri.


Lebih lanjut, MPK menyoroti praktik-praktik yang tidak bisa tidak disebut sebagai bentuk baru dari ekstraksi terstruktur: pengumpulan dokumen legal milik warga seperti KTP, KK, SPPT, bahkan sertifikat tanah dan surat sewa tanah, dilakukan tanpa pengawasan hukum yang memadai. Ini bukan sekadar praktik administrasi yang buruk. Ini adalah pelemahan sistematis terhadap posisi tawar warga di atas tanahnya sendiri.


“Ketika masyarakat ‘dilibatkan’ dalam skema kemitraan yang tidak transparan, tidak berbasis kontrak tertulis, dan tanpa kejelasan struktur bagi hasil, maka itu bukan pemberdayaan, itu pemiskinan yang dilembagakan. Kita tidak bisa menyebut itu pembangunan,” kata Yudi dengan nada yang tajam.


MPK menyebut fenomena ini sebagai bentuk disfigurasi tata kelola ruang dan hukum. Ruang hidup warga diubah menjadi zona eksploitasi atas nama investasi, dengan peran negara yang menyusut menjadi sekadar administrator perizinan dan pembuat siaran pers. Fungsi pengawasan dan keberpihakan pada prinsip kehati-hatian ekologi telah dikorbankan demi kepentingan jangka pendek yang tidak berkelanjutan.


“Kita sedang menyaksikan birokrasi yang kehilangan etos publik. Lembaga-lembaga teknis seperti Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Tata Ruang bukan hanya pasif mereka bersikap seperti entitas tak bertulang. Tidak ada satu pun posisi tegas yang ditunjukkan. Ini adalah krisis integritas kelembagaan,” tegasnya.


Sebagai kawasan hulu yang memiliki fungsi ekologis strategis, Kuningan tidak kompatibel dengan ekspansi sawit. MPK menuntut adanya moratorium menyeluruh, evaluasi tuntas terhadap seluruh izin yang pernah dikeluarkan, serta penyusunan kebijakan transisi berbasis keadilan ekologis. Bagi masyarakat yang telah terlanjur masuk dalam sistem sawit, harus ada program konversi dan pemulihan yang dikawal oleh negara bukan diserahkan kembali kepada mekanisme pasar yang telah gagal melindungi mereka.


MPK menegaskan bahwa mereka tidak menolak investasi. Namun mereka menolak bentuk investasi yang melanggar prinsip keadilan sosial, ekologi, dan legalitas. “Investasi bukan justifikasi untuk menjajah kembali. Kuningan bukan tanah kosong yang bisa diukur dengan asumsi margin keuntungan. Ini ruang hidup, dan harus dikelola dengan etika, bukan hanya dengan neraca bisnis,” tutup Yudi.

.AA