KUNINGAN, (VOX) — Di tengah derasnya sorotan publik terhadap kasus-kasus korupsi keuangan negara, ada bentuk penyimpangan lain yang kerap luput dari atensi: korupsi etika. Ia tidak selalu tercatat dalam berkas perkara, namun pelan-pelan merusak legitimasi kepemimpinan, melemahkan institusi, dan menggerogoti kepercayaan rakyat.
Aktivis keagamaan sekaligus tokoh FPI Kabupaten Kuningan, Ustadz Edin Kholidin, menegaskan bahwa fenomena maraknya kemarahan rakyat hingga menjarah rumah-rumah pejabat akhir-akhir ini bukan semata dipicu korupsi uang rakyat, melainkan lebih karena faktor etika pejabat publik yang menyakiti perasaan rakyatnya.
“Korupsi itu tidak selalu bermula dari uang; sering kali ia bermula dari pengkhianatan terhadap amanah,” tegas Ustadz Edin dalam perbincangannya.
Lima Wajah Korupsi Etika
Menurutnya, korupsi pada hakikatnya berarti mengambil sesuatu yang bukan hak atau bertindak di luar batas yang telah ditentukan. Dalam praktiknya, ia menyoroti lima wajah korupsi etika yang paling sering muncul baik di tingkat lokal maupun nasional:
1. Penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi/keluarga. Misalnya memfasilitasi proyek untuk kroni atau memberikan akses istimewa bagi jaringan dekat.
2. Korupsi waktu dan tanggung jawab jabatan. Aparat dibayar dari uang rakyat tetapi mengabaikan kewajiban, bolos rapat, atau menyimpang dari mandat.
3. Membungkam kritik dan menekan kebebasan pers. Termasuk intervensi pemberitaan, intimidasi, hingga transaksi gelap untuk menutup informasi publik.
4. Manipulasi agama/moral untuk pembenaran politik. Agama dijadikan perisai untuk menutupi penyimpangan.
5. Pelanggaran etika personal yang berdampak publik. Meski secara hukum sah, keputusan pribadi pejabat bisa mencederai teladan sosial dan meruntuhkan martabat lembaga.
“Etika adalah pagar pertama sebelum hukum. Ketika pagar ini roboh, pelanggaran lain tinggal menunggu giliran,” tandasnya.
Efek Domino bagi Institusi Publik
Ustadz Edin mengingatkan bahwa korupsi etika dapat memicu krisis kepercayaan yang merambat luas. “Ketika publik tak percaya, kebijakan—sebagus apapun—akan dicurigai. Aparatur yang baik pun ikut terdampak karena citra institusi terdegradasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, krisis etika yang dibiarkan tanpa penanganan cepat akan melahirkan polarisasi, memperbesar moral hazard, dan menggeser batas normal masyarakat menjadi budaya ‘maklum’.
Peran Ormas dan Masyarakat Sipil
Menurutnya, hukum adalah pagar kedua, sedangkan pagar pertama adalah nurani, akhlak, dan sistem etik. Karena itu, ia menekankan peran masyarakat sipil dan ormas Islam untuk mengingatkan, menasihati, serta mengawal ruang publik agar tetap beradab.
“Tugas kami adalah mengingatkan dengan hikmah. Kritik itu bentuk kasih sayang sosial. Nilai-nilai Islam—amanah, ‘adl (keadilan), ihsan (kebaikan)—bukan slogan, tapi standar kebijakan dan perilaku,” tegasnya.
Ustadz Edin juga mengajak masyarakat untuk aktif melaporkan pelanggaran etika melalui kanal resmi, mendukung jurnalisme independen, serta menolak politik transaksional.
Seruan Membangun Budaya Malu
Menutup perbincangan, ia menegaskan pentingnya membangun budaya malu bagi pejabat publik. “Budaya malu itu bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk menjaga martabat. Pejabat yang keliru harus berani mengakui, meminta maaf, dan memperbaiki. Itulah kepemimpinan yang dewasa,” ujarnya.
Ia menutup dengan seruan sederhana namun tajam:
“Mari rawat pagar pertama: etika. Jika pagar ini tegak, insya Allah pagar-pagar lainnya ikut kuat. Kepercayaan publik bukan warisan, melainkan amanah yang harus dibayar lunas setiap hari.”
(FW)