KUNINGAN, (VOX) — Dugaan pemalsuan dokumen dan tanda tangan kembali mencuat di Kabupaten Kuningan, kali ini menyeret nama A, seorang oknum BIHI dari salah satu desa, serta istrinya, L, yang merupakan KAUR Umum di sebuah desa wilayah timur Kuningan. Mereka diduga terlibat dalam proses balik nama sertifikat rumah milik seorang warga desa, S, yang dilakukan dengan berbagai kejanggalan dan pelanggaran prosedur.
Kasus ini bermula ketika S mengungkapkan kepada Voxpopuli bahwa sertifikat rumah miliknya telah diagunkan ke bank. Berdasarkan pengakuannya, A dan L mengajaknya ke rumah seorang staf notaris di wilayah Kuningan dengan alasan ingin mengurus syarat pinjaman bank. Namun sesampainya di sana, ia tidak diberitahu bahwa yang dilakukan adalah proses penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), yang ia ketahui hanya akan balik nama saja untuk keperluan pinjaman bank.
“Saya pikir hanya balik nama saja. Tapi ternyata ada AJB, saya kaget,” ujar S.
Yang lebih mengejutkan, AJB tersebut tercatat atas nama pembeli berinisial AAR, yang diketahui adalah mantan istri A. Namun AAR tidak pernah hadir dalam proses tersebut. Diduga kuat, KTP AAR yang digunakan dalam proses balik nama sertifikat telah dimanipulasi fotonya diduga telah diganti dengan wajah L. Informasi ini diperkuat dengan pernyataan kepala desa bersangkutan yang meyakini bahwa wajah pada KTP tersebut adalah milik L, bukan AAR.
Pejabat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kuningan, ketika dikonfirmasi, membenarkan adanya perbedaan antara foto dan tanda tangan pada KTP yang digunakan dalam proses PPAT tersebut.
“Dari verifikasi sistem dan basis data, memang ditemukan perbedaan wajah serta perbedaan tanda tangan pada KTP yang digunakan. Ini menjadi indikasi kuat adanya pemalsuan data identitas,” ujar pejabat Dukcapil yang enggan disebut namanya.
Tak hanya itu, S juga mengungkapkan bahwa dalam proses penandatanganan AJB, suaminya yang seharusnya menjadi saksi dari pihak penjual justru tidak menandatangani langsung. Tanda tangan tersebut, menurut S, malah dilakukan oleh A (BIHI) di hadapan calo notaris.
“Waktu itu suami saya nggak tanda tangan. Tapi si A malah yang teken atas nama suami saya, dan itu di depan calo notaris,” ujar S.
Namun, calo notaris yang bersangkutan membantah keterangan tersebut dan menyebut bahwa tindakan itu dilakukan atas permintaan S. Meski demikian, banyak pihak menyatakan bahwa apapun alasannya, praktik seperti itu seharusnya tidak boleh dilakukan karena jelas melanggar ketentuan hukum.
Kenapa Bisa Lolos?
Salah satu pertanyaan besar dalam kasus ini adalah bagaimana proses balik nama tersebut bisa lolos di PPAT dan bahkan disetujui bank hingga pencairan dana dilakukan.
Saat ini, sertifikat rumah yang sebelumnya milik S telah beralih nama dan berhasil diagunkan ke sebuah bank. Dana pun telah cair dan diterima oleh L, meskipun nama di sertifikat bukanlah dirinya.
Reaksi Publik: Sorotan Abas Yusuf
Abas Yusuf, pemerhati kebijakan publik dan Ketua Bapilu PSI Kuningan, menanggapi keras kasus ini.
“Ini dugaan pelanggaran serius. Pemalsuan dokumen negara, tanda tangan, hingga manipulasi identitas di akta resmi. Bahkan kalau benar ada perubahan foto di KTP, itu masuk pidana murni apalagi jika melibatkan oknum di instansi penerbit identitas,” tegas Abas.
Ia juga menyoroti aspek kelalaian PPAT yang meloloskan akta tersebut meski tak sesuai prosedur.
“Tanda tangan AJB seharusnya dilakukan di hadapan PPAT, bukan di rumah pribadi, dan harus disaksikan langsung oleh pihak-pihak terkait. Ini cacat hukum dan bisa masuk ke ranah pidana,” tambahnya.
Abas turut mendesak aparat kepolisian atau kejaksaan segera turun, untuk menyikapi kasus ini. Agar ada efek jera dan mencegah hal hal seperti ini kembali terjadi di kemudian hari.
Analisa Hukum:
1. Pemalsuan Surat dan Identitas (Pasal 263 KUHP):
Penggantian foto dalam KTP dan penggunaan identitas orang lain tanpa persetujuan merupakan tindak pidana dengan ancaman penjara hingga 6 tahun.
2. Pemalsuan Keterangan dalam Akta (Pasal 266 KUHP):
Jika AJB memuat keterangan palsu, dan menyebabkan perubahan hak kepemilikan sertifikat, pelakunya bisa dikenai ancaman 7 tahun penjara.
3. Kelalaian Pejabat Umum (UU PPAT & UU Jabatan Notaris):
Penandatanganan AJB yang dilakukan bukan di hadapan PPAT dan tanpa saksi sah dari pihak penjual merupakan pelanggaran berat. PPAT dan notaris yang lalai dapat dikenai sanksi administratif dan pencabutan izin.
Kasus ini menambah daftar panjang keprihatinan publik terhadap lemahnya pengawasan dalam proses administrasi pertanahan dan pinjaman bank. Penegakan hukum yang tegas dan menyeluruh terhadap semua pihak yang terlibat, dari pemalsu, aparat desa, hingga lembaga pembuat akta, sangat diperlukan agar kasus serupa tidak terus terulang.
.Abu Azzam