Post ADS 1
Post ADS 1

Kaburnya Macan Tutul, Yudi MPK: Cermin Runtuhnya Tata Kelola Konservasi di Indonesia



KUNINGAN,(VOX) - Aktivis Masyarakat Peduli Kuningan (MPK), Yudi Setiadi, menilai insiden kaburnya macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) dari kandang karantina Lembang Park & Zoo bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan potret nyata rapuhnya tata kelola konservasi satwa langka di Indonesia.

Kronologi: Kabur Hanya Hitungan Jam Setelah Dievakuasi

Berdasarkan keterangan pengelola, satwa dilindungi yang dievakuasi dari Desa Kutamandarakan, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan, pada Selasa (26/8) malam itu terakhir terlihat di kandang sekitar pukul 04.00 WIB saat pemeriksaan rutin. Namun, hanya berselang satu hingga dua jam kemudian, macan tutul sudah tidak berada di kandang dan diduga menjebol bagian atap.

Padahal, satwa tersebut baru akan menjalani observasi sebelum rencana pelepasliaran ke Taman Nasional Gunung Ciremai.

“Fakta bahwa kelemahan sistem keamanan bisa terungkap hanya dalam hitungan jam sejak satwa ditempatkan di karantina, menunjukkan lemahnya manajemen pengelolaan satwa langka,” tegas Yudi.

Konservasi Gagal Terapkan Ilmu Pengetahuan

Macan tutul Jawa berstatus Kritis (Critically Endangered) dengan populasi liar diperkirakan hanya 350–500 individu (BBKSDA Jabar & IUCN, 2023). Setiap individu adalah aset genetis yang tak tergantikan.

Menurut MPK, kondisi kandang yang bisa dijebol membuktikan lemahnya penerapan etologi predator, rekayasa struktural, serta manajemen stres satwa. “Tanpa pijakan ilmiah yang kokoh, konservasi hanya menjadi retorika administratif tanpa makna,” imbuh Yudi.

Ancaman Keselamatan Publik

Kaburnya predator puncak jelas menimbulkan risiko besar. Macan tutul dikenal memiliki daya jelajah 5–15 km per hari dan naluri oportunistik yang tinggi. Potensi konflik dengan manusia maupun ternak terbuka lebar.

“Sejarah selalu mencatat, ketika konflik terjadi, satwa lah yang selalu menjadi korban. Kelalaian pengelolaan mempercepat kepunahan sekaligus mengancam keselamatan masyarakat,” papar Yudi.

Lembaga Konservasi Minim Transparansi

MPK juga menyoroti lemahnya tata kelola lembaga konservasi di Indonesia. Padahal menurut pedoman World Association of Zoos and Aquariums (WAZA Guidelines, 2021), setiap insiden satwa berbahaya wajib ditangani dengan transparansi, investigasi independen, dan akuntabilitas publik.

Namun di lapangan, praktik justru tertutup dan cenderung dianggap sekadar kecelakaan teknis. “Tanpa evaluasi jujur, lembaga konservasi berisiko tereduksi menjadi sekadar industri hiburan yang membungkus kelalaian dengan label konservasi,” ujar Yudi.

Implikasi Ekologis

Sebagai predator puncak, macan tutul berperan menjaga keseimbangan rantai makanan. Hilangnya satwa akibat konflik atau salah kelola dapat memicu ledakan populasi mangsa, degradasi vegetasi, hingga ketidakstabilan ekosistem.

“Kelalaian satu institusi bisa memicu efek domino ekologis lintas generasi,” terang Yudi.

MPK Desak Audit Independen

Berdasarkan kajian tersebut, MPK mendesak:

1. Audit independen terhadap standar keamanan lembaga konservasi.

2. Penegakan regulasi konservasi sesuai standar internasional, bukan sekadar formalitas.

3. Peningkatan kapasitas SDM yang berbasis kompetensi dan etika, bukan hanya infrastruktur.

4. Prinsip keterbukaan publik sebagai fondasi akuntabilitas dan legitimasi sosial konservasi.


“Konservasi tidak boleh berhenti sebagai kata indah yang menutupi kelalaian. Konservasi adalah ukuran martabat bangsa: apakah kita mampu menjaga yang lemah, melindungi yang terancam, dan memastikan satwa langka tidak hilang hanya karena kecerobohan manusia. Jika kelalaian terus dibiarkan, bukan hanya satwa yang punah, melainkan juga ekosistem yang runtuh bersama keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.” – Yudi Setiadi, Aktivis MPK

(FW)
banner
Post ADS 2