Post ADS 1
Post ADS 1

Kuningan Melawan Ketidakadilan dan Anarkisme


Editorial Hari Jadi Kabupaten Kuningan ke 527


Perayaan hari jadi sebuah daerah seharusnya menjadi momentum refleksi, baik bagi masyarakat maupun pemimpinnya. Namun di Kuningan tahun ini, refleksi itu hadir dalam wajah yang berbeda. Jalanan dipenuhi ribuan massa selama tiga hari berturut-turut. Elemen mahasiswa, pelajar, masyarakat umum, hingga komunitas pengemudi ojek online berbaris dalam satu orkestra perlawanan dengan gedung DPRD dan Polres sebagai titik sentral aksi. Fenomena ini bukan sekadar demonstrasi, melainkan artikulasi kolektif dari kekecewaan rakyat yang semakin menumpuk.


Orkestrasi Massa dan Potensi Disintegrasi


Mahasiswa tampil sebagai konduktor, mengatur ritme agar aspirasi tersampaikan dengan tegas namun tetap dalam koridor damai. Kendati demikian, provokator yang menyusup di tubuh aksi menjadi ancaman nyata. Tuduhan “mahasewa” yang menyebut massa telah dibayar beredar deras di media sosial, memperlihatkan adanya upaya sistematis untuk mendeligitimasi substansi perjuangan. Fenomena ini menjadi indikasi jelas bahwa kepentingan lain telah menyusup, mencampuradukkan idealisme dengan motif destruktif.


Bahaya Anarkisme Beban yang Menimpa Rakyat Sendiri


Kuningan harus belajar dari pengalaman kota lain. Anarkisme tidak membawa apa pun selain kerugian. Gedung yang dirusak atau dibakar akan kembali dibangun dengan dana publik. Ironinya, anggaran tersebut bukanlah dana abstrak, melainkan uang rakyat yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan program sosial. Setiap kerusakan infrastruktur publik berarti pengurangan hak rakyat yang paling rentan. Maka aksi anarkis justru menjadi jebakan yang merugikan rakyat sendiri, bukan instrumen untuk memperjuangkan keadilan.


Koalisi Partai dan Koalisi Rakyat


Peristiwa ini sekaligus menjadi teguran keras bagi para elite pemerintahan. Koalisi politik yang dibangun di ruang-ruang kekuasaan tidak akan pernah sebanding dengan koalisi rakyat yang terbentuk di jalanan. Terlebih bila provokator berhasil memanipulasi kemarahan publik, koalisi jalanan dapat menjelma menjadi kekuatan politik tandingan yang jauh lebih masif dan berbahaya. Oleh karena itu, pemimpin daerah dan para legislator mesti berhati-hati dalam bersikap. Setiap keputusan, setiap pernyataan, dan setiap kebijakan harus berlandaskan kepentingan riil masyarakat, bukan sekadar jargon kosong.


Jalan Tengah Kuningan


Kuningan dalam hari jadinya yang ke 527 dihadapkan pada pilihan historis. Apakah akan membiarkan aspirasi rakyat tersandera oleh anarkisme atau menjadikannya energi transformatif untuk perubahan yang lebih adil. Editorial ini menegaskan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak boleh terjerembab dalam kubangan destruksi. Justru dengan kedewasaan sikap, konsistensi aspirasi, dan keteguhan menjaga damai, Kuningan dapat menjadi teladan bahwa suara rakyat tidak harus diiringi api dan amarah, melainkan dengan orkestra kebijaksanaan yang mencerahkan.


Ayo bangkit Kuninganku dengan segenap jiwa raganya. Fokuskanlah para influencermu untuk mengenalkan pariwisata kabupaten ini ke dunia luar, sementara kesehatan birokrasi dan roda pemerintahan biarkan ditangani oleh pemikiran pemikiran yang kritis, korektif, dan membangun. Di usia yang ke 527 tahun ini semoga Kuningan semakin matang dalam segala hal, pemerintahan, kebudayaan, ekonomi, dan keadaban publiknya.


Sebagaimana pesan Tan Malaka, Setinggi-tingginya ilmu, semurni-murninya tauhid, sepintar-pintarnya siasat. Perlawanan rakyat Kuningan harus berangkat dari kecerdasan, kejernihan moral, dan strategi yang terukur, bukan sekadar luapan amarah.


Dan perlu diingat pula kata-katanya yang lain, Politik tanpa moral adalah kejahatan, dan ekonomi tanpa keadilan adalah penindasan. Pada usia ke 527 tahun ini, Kuningan dituntut untuk semakin matang. Membangun politik yang bermoral, ekonomi yang berkeadilan, serta masyarakat yang menolak anarkisme dan teguh melawan segala bentuk ketidakadilan.


Redaksi Voxpopuli

banner
Post ADS 2