Narasi Ketertiban dan Ilusi Stabilitas
Sejarah politik Indonesia pasca kemerdekaan hingga kini selalu ditandai oleh ketegangan permanen antara narasi ketertiban dan aspirasi kebebasan rakyat. Dalam konteks sosiologi politik, “ketertiban” kerap dimaknai sebagai syarat lahirnya stabilitas politik, sementara “stabilitas” dianggap sebagai prasyarat pembangunan. Narasi ini telah mengakar sejak Orde Baru, direproduksi ulang pada era Reformasi, dan terus menerus dipentaskan dalam ruang publik kita.
Namun, stabilitas yang digembar gemborkan itu tidak pernah hadir dalam ruang hampa. Ia selalu disertai biaya sosial yang harus dibayar. Biaya itu kadang berupa pembungkaman aspirasi, pembatasan ruang publik, bahkan korban jiwa. Dengan demikian, konsep ketertiban yang semestinya mengayomi, perlahan bergeser menjadi instrumen legitimasi kekuasaan yang represif.
Drama Politik: Aktor, Peran, dan Naskah yang Tak Kunjung Usai
Ketika sebuah aksi demonstrasi berlangsung di pusat Ibu Kota, panggung sosial itu seketika menyerupai drama kolosal. Para aktor tampil dengan perannya masing masing massa demonstran mengusung bendera aspirasi, aparat negara mengibarkan panji prosedur hukum dan pengendalian massa. Layaknya sebuah pertunjukan klasik, naskahnya telah usang namun terus dimainkan tanpa jeda.
Namun ironisnya, selalu ada sosok sosok di luar naskah. Mereka bukanlah pemain, bukan pula figuran yang dipersiapkan. Salah satunya adalah seorang pengemudi ojek online. Panggung hidupnya bukanlah gedung parlemen atau jalan protokol, melainkan aspal kota tempat ia mencari nafkah. Kostumnya sederhana jaket hijau yang bukan simbol heroisme, melainkan sekadar seragam kerja. Kehadirannya di tengah hiruk pikuk demonstrasi bukanlah sebuah pilihan, melainkan keterpaksaan ruang dan waktu.
Tragedi Roda Baja, Antara Insiden dan Tumbal
Sosiolog Prancis, Émile Durkheim, pernah menulis bahwa setiap masyarakat menyimpan “korban pengorbanan” sebagai prasyarat berdirinya keteraturan sosial. Namun pertanyaannya, apakah benar keteraturan di republik ini mesti menagih tumbal berupa nyawa warga kecil yang sama sekali tidak terlibat dalam kontestasi kekuasaan?
Ketika roda baja kendaraan aparat berputar kencang dan merenggut nyawa sang pengemudi, peristiwa itu bukan lagi sekadar insiden teknis. Ia merupakan perwujudan material dari kontradiksi struktural antara negara dan rakyatnya. Nyawa yang melayang itu menjadi simbol bahwa dalam setiap pertunjukan stabilitas, ada individu yang dipaksa membayar dengan kehidupan.
Apakah ini bisa disebut sebagai “kerusakan properti panggung” semata? Atau sesungguhnya ia adalah tumbal politik pengorbanan yang dianggap wajar agar roda pertunjukan tetap berputar mulus?
Antara Pengamanan dan Arogansi Negara
Dalam teori politik klasik, negara hadir sebagai Leviathan (Thomas Hobbes) yang diberi mandat oleh rakyat untuk menjaga ketertiban dan keselamatan. Namun, ketika tindakan pengamanan berubah menjadi ancaman bagi keselamatan warga, kontrak sosial itu mulai retak.
Aparat mungkin berdalih menjalankan prosedur. Tetapi prosedur tanpa nurani berpotensi melahirkan arogansi. Ketika logika keamanan mendominasi tanpa memberi ruang pada logika kemanusiaan, maka “pengamanan” tidak lagi berbeda dengan “penindasan.”
Opera Absurditas di Jalanan Merah
Opera agung ini akhirnya berujung pada absurditas. Ia digelar megah, disertai narasi heroisme menjaga republik, tetapi di balik layar menyimpan darah dan luka. Jalanan yang mestinya menjadi ruang hidup rakyat kecil berubah menjadi panggung duka.
Di atas aspal yang memerah, publik dipaksa bertanya siapa sebenarnya sutradara sandiwara ini? Apakah penguasa yang terus menggenggam kendali, ataukah sistem politik yang sudah lama terjebak dalam logika kekuasaan yang dingin dan tanpa nurani?
Suara Sirine vs Suara Nurani
Negara boleh jadi masih menganggap stabilitas sebagai nilai tertinggi. Namun kita, sebagai warga negara, tidak boleh lupa bahwa stabilitas sejati tidak bisa ditegakkan di atas penderitaan. Stabilitas bukanlah hasil represi, melainkan buah dari keadilan sosial.
Dan di republik ini, sayangnya, terkadang suara sirine memang lebih nyaring daripada suara nurani.
Oleh : Chepy Nugraha
Editor : Farid Winartono