Ditulis oleh:
M. Sayffulloh Rohman
Mahasiswa Universitas Islam Al Ihya
KUNINGAN, (VOX) - Secara etimologis, sekolah berasal dari bahasa Latin schola, yang artinya “waktu luang yang digunakan untuk belajar.” Dalam bahasa Yunani kuno, kata scholē juga berarti “tempat untuk belajar dengan tenang dan mendalam.” Dari akar kata ini, dapat dipahami bahwa sekolah pada dasarnya adalah ruang terbuka bagi siapa pun untuk memperoleh ilmu dan berkembang sebagai manusia.
Namun, realitas sosial sering kali jauh dari makna ideal tersebut. Pendidikan menjadi komoditas langka bagi kalangan bawah, sehingga lahirlah berbagai inisiatif seperti Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat dimaksudkan sebagai bentuk pendidikan alternatif, biasanya bersifat gratis, fleksibel, dan menyasar masyarakat kecil yang termarjinalkan oleh sistem pendidikan formal.
Pada titik ini, muncul pertanyaan: apakah kehadiran Sekolah Rakyat menyelesaikan persoalan, atau justru memperkuat kesenjangan?
mari kita lihat makna kesenjangan sosial menurut perspektif Karl Marx, seorang filsuf dan pemikir ekonomi, yang menyatakan bahwa struktur masyarakat kapitalis akan selalu menghasilkan pemisahan antara kelas pemilik (borjuis) dan kelas pekerja (proletar), termasuk dalam akses terhadap pendidikan. Sementara itu, Pierre Bourdieu melihat pendidikan sebagai alat reproduksi sosial, yang secara halus memperkuat dominasi kelompok elit dengan melegitimasi perbedaan "kapital budaya" — pengetahuan, sikap, dan gaya hidup yang diasosiasikan dengan kelas atas.
Dalam konteks ini, Sekolah Rakyat dapat dilihat sebagai wujud kepedulian terhadap ketimpangan. Namun, tanpa disadari, label “rakyat” yang melekat padanya bisa memperkuat dikotomi: “sekolah biasa” untuk orang berpunya, dan “sekolah rakyat” untuk yang tertinggal. Hal ini bukan hanya berisiko membentuk stigma sosial, tetapi juga menciptakan kelas-kelas baru dalam dunia pendidikan itu sendiri. Seolah-olah, kualitas dan martabat pendidikan ditentukan oleh status ekonomi peserta didiknya.
Kondisi ini sejalan dengan kritik Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, bahwa pendidikan semestinya membebaskan, bukan memberi label atau membentuk identitas yang membatasi. Sekolah yang ideal seharusnya menyatukan, bukan memisahkan.
Dengan demikian, Sekolah Rakyat perlu dikritisi bukan dari niatnya, melainkan dari implikasi sosial dan simboliknya. Bila tidak dikawal dan dipikirkan secara matang, maka keberadaannya bisa berbalik arah: dari upaya pemberdayaan menjadi legitimasi terhadap eksklusivitas sistem pendidikan formal.
Pendidikan yang membebaskan haruslah inklusif dan setara dalam semangat, struktur, dan pengakuan sosialnya bukan sekadar soal siapa yang mampu membayar, tapi siapa yang berhak belajar.