Sawala Alam Pajambon Tantang Semua Pihak Bersatu Jaga Lingkungan, Bukan Saling Menyalahkan
Mei 25, 2025
KUNINGAN, (VOX) – Di tengah polemik penyebab longsor di Cilengkrang Desa Pajambon, sebuah Forum Grup Discusion (FGD) yang bertajuk "Sawala Alam Ngajaga Adat Ngariksa Jagat" hadir dengan pendekatan berbeda. Alih-alih memperuncing perdebatan, forum ini justru mendorong sinergi lintas sektor untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang berulang.
Digelar di Aula Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan, pada Sabtu (24/5/2025), forum yang diinisiasi DPD Sundawani Wirabuana Kuningan ini menghadirkan berbagai tokoh penting di Kabupaten Kuningan, seperti Wakil Bupati Kuningan Amih Tuti Andriani, Ketua DPRD Kuningan Nuzul Rachdy, Perwakilan dari Komisi III DPRD Kuningan H Uus Yusuf, perwakilan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), aktivis lingkungan dan Ketua AKAR Frederick Amalo, Ketua DPD Sundawani Wirabuana Kuningan Mara Stansah, Camat Kramatmulya, serta Kepala Desa Pajambon.
Turut hadir pula H. Rokhmat Ardiyan (HRA), Owner Arunika sekaligus Anggota DPR RI Komisi XII, yang datang didampingi sang istri, Hj. Dian Marina Puspita, Komisaris Puspita Cipta Group, perusahaan induk dari Arunika Eatery.
Salah satu sorotan utama datang dari Ketua AKAR, Federick Amalo, dalam pemaparannya, mengakui bahwa awalnya pihaknya juga menduga Arunika menjadi penyebab. Namun setelah dilakukan kajian langsung di lapangan, ditemukan fakta bahwa longsor yang terjadi saat ini adalah pengulangan dari kejadian serupa pada tahun 2017 yang bahkan lebih parah.
Dokumen dan catatan geologis dari waktu tersebut memperkuat kesimpulan bahwa struktur tanah dan kondisi tebing memang sudah lama rawan runtuh, akibat pelapukan alami dan aktivitas pertanian seperti penanaman rumput pakan ternak di atas, aliran limbah ternak yang membuat tanah menjadi gembur.
Setelah ditelusuri, longsoran tidak merusak aliran air utama maupun jalan menuju objek wisata. Batu-batu besar di sekitar jalan pun tidak tersentuh oleh material longsor. Ini membuktikan bahwa longsor hanya terjadi pada bagian tebing tertentu, tidak langsung menyasar kawasan bawah,” jelasnya.
Yang menjadi perhatian penting, lanjutnya, adalah bahwa diskursus publik selama ini kurang mengarah pada solusi. Karena itu, Sawala Alam hadir bukan untuk menyalahkan, melainkan merumuskan solusi konkret.
“Arunika justru kini diminta menjadi bagian dari solusi. Mereka diberikan tanggung jawab untuk mengontrol rembesan air, memperbanyak sumur resapan dan biopori, serta mendukung pembangunan penahan tebing agar kejadian serupa tak terulang,” tambahnya.
Berbeda dari forum-forum sebelumnya, Sawala Alam menempatkan seluruh pihak sebagai bagian dari solusi. Arunika, yang sebelumnya sempat dituding sebagai penyebab longsor, kini justru dilibatkan aktif untuk mengimplementasikan langkah-langkah pemulihan, seperti pembuatan sumur resapan, penambahan biopori, dan penguatan tebing. Dalam forum ini juga disepakati perlunya upaya konservasi pada area rawan longsor dan penggunaan lahan yang lebih bijak.
Ketua Sundawani, Maratanza, menyatakan bahwa Sawala Alam adalah ruang kearifan lokal untuk menyatukan pemahaman dan kesadaran.
“Ini bukan saatnya saling menyudutkan, tapi saatnya lahirkan tanggung jawab kolektif menjaga alam kita,” ujarnya.
Masalah longsor ini diharapkan menjadi momentum pembelajaran bersama. Bahwa kerusakan alam bukanlah hasil dari satu pihak semata, melainkan akumulasi dari banyak faktor, termasuk pola penggunaan lahan dan kelalaian kolektif.
Dengan pendekatan edukatif dan kolaboratif, Sawala Alam mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memahami akar persoalan, menyusun solusi jangka panjang, serta memperkuat sinergi dalam merawat warisan lingkungan untuk generasi mendatang./AS