KUNINGAN, (VOX) – Sejumlah warga Desa Bangunjaya, Kecamatan Subang, mengeluhkan minimnya transparansi dalam pelaksanaan proyek pembangunan pagar besi yang bersumber dari dana desa. Pasalnya, pengerjaan proyek tersebut dilaksanakan oleh pemborong asal Kecamatan Ciamis, sementara di Bangunjaya sendiri terdapat beberapa bengkel lokal yang dinilai mampu mengerjakan pekerjaan tersebut.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat dan pelaku usaha setempat. Mereka menilai seharusnya proyek desa bisa memberdayakan pelaku usaha lokal sehingga dampaknya lebih dirasakan langsung oleh masyarakat Bangunjaya.
Ketika dikonfirmasi Vox, Kaur Perencanaan Desa Bangunjaya, Eka, menjelaskan bahwa keterlibatan pemborong dari luar daerah bukan atas keputusan pihak desa.
“Pelaksanaan oleh pemborong dari Ciamis itu atas penunjukan TB Nemi sebagai pelaksana utama. Pihak desa tidak mengetahui soal penunjukan tersebut, karena itu sepenuhnya oleh pelaksana utama, yaitu TB Nemi,” kata Eka.
Namun, keterangan berbeda justru disampaikan oleh TB Nemi saat ditemui tim Vox di Desa Bangunjaya. Menurutnya, ia tidak berperan sebagai pelaksana proyek.
“Saya hanya menjual material ke desa. Soal tukang maupun pemborong besi galvanis, ataupun pembangunan pagar, saya tidak tahu menahu,” ujar TB Nemi.
Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, setiap proyek pembangunan yang dibiayai dana desa wajib melalui mekanisme:
1. Perencanaan dalam Musyawarah Desa (Musdes) dan dituangkan dalam RKPDes.
2. Penganggaran ke dalam APBDes.
3. Pelaksanaan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) yang ditetapkan dengan SK Kepala Desa, dengan prinsip swakelola dan pemberdayaan masyarakat desa setempat.
4. Pelaporan dan Pertanggungjawaban kepada kepala desa, BPD, serta diverifikasi inspektorat.
Jika proyek justru dikerjakan oleh pihak luar tanpa melibatkan TPK desa, maka ada indikasi penyimpangan prosedur. Apalagi, muncul kontradiksi keterangan antara perangkat desa dan pihak yang disebut sebagai pelaksana utama.
Praktik semacam ini berpotensi menyalahi aturan dan bisa mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor, apabila terbukti menimbulkan kerugian keuangan negara.
Sanksinya pun tidak main-main. Selain teguran administratif dan kewajiban mengembalikan kerugian, pihak terkait dapat dijerat pidana korupsi dengan ancaman penjara minimal 4 tahun.
Perbedaan keterangan antara pihak desa dan TB Nemi semakin menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Sejumlah elemen warga mendesak agar Inspektorat maupun Kejaksaan segera turun tangan melakukan audit untuk memastikan tidak adanya kongkalikong dalam proyek pembangunan pagar besi yang bersumber dari dana desa tersebut.
.RedVox