Post ADS 1
Post ADS 1

UHA LSM Frontal, HENTIKAN MBG SEBELUM LEBIH BANYAK ANAK JADI KORBAN


KUNINGAN, (VOX) - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebagai terobosan untuk menurunkan angka stunting kini justru menebar racun ke perut anak bangsa. Fakta mencengangkan diungkap harian Kompas edisi 3 Oktober 2025 yang menemukan kadar nitrit pada menu MBG di Kabupaten Bandung Barat, yaitu melon dan lotek, mencapai 3,91 mg/L dan 3,54 mg/L, hampir empat kali lipat dari ambang batas aman menurut standar EPA sebesar 1 mg/L. Akibatnya, 1.315 siswa dilaporkan mengalami gejala keracunan seperti mual, muntah, pusing, lemas, bahkan sesak napas. Ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan bentuk kejahatan terorganisir yang bersembunyi di balik proyek bergelimang anggaran, menelanjangi wajah busuk korupsi dan inkompetensi dalam program yang seharusnya menyelamatkan generasi bangsa.


Nitrit tidak muncul begitu saja. Investigasi awal mengungkap dua penyebab utama, yaitu penggunaan pengawet berlebihan untuk mempertahankan makanan yang dimasak malam hari namun baru disajikan keesokan siangnya, serta proses pemasakan bersuhu tinggi yang mengubah nitrit menjadi nitrosamin, senyawa karsinogenik penyebab kanker lambung dan pankreas. Garam dapur yang mengandung nitrat alami dalam sayuran malah memperparah situasi, apalagi ditambah penyimpanan bahan makanan yang asal-asalan dan jauh dari standar higienitas. Apa yang disebut “gizi” dalam program ini justru berubah menjadi bom waktu kimia yang meledak perlahan di dalam tubuh ribuan anak Indonesia.


Ironisnya, di balik skandal ini bersembunyi angka yang lebih mencengangkan. Dari total Rp 71 triliun anggaran nasional untuk MBG, baru Rp 13 triliun yang terserap. Sisanya, Rp 58 triliun menguap entah ke mana. Kuat dugaan ada permainan di tingkat pelaksana dan penyedia, di mana dapur-dapur SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) yang menjadi rekanan pemerintah daerah diduga menjadi sarang praktik kotor. Bukan hal baru bila kritik dari media dan masyarakat ditolak mentah-mentah bahkan dibungkam dengan dalih menjaga citra program. Padahal, sejak awal banyak pihak sudah memperingatkan bahaya penggunaan bahan olahan tinggi seperti nugget, sosis, dan daging olahan yang sarat nitrit dan dimasak dengan suhu ekstrem. Korban terus bertambah, 5.626 anak siswa di seluruh Indonesia sejak Januari 2025 tercatat mengalami gejala keracunan. Bandung Barat hanyalah puncak gunung es dari sebuah skema yang lebih dalam dan sistemik.


Wakil Kepala BGN Nanik S Deyang sempat menangis dan meminta maaf pada 26 September lalu, namun bagi publik air mata itu terasa hambar. Janji melakukan sertifikasi SLHS dan evaluasi dapur hanyalah pertunjukan rutin tanpa keseriusan mengurai akar masalah, yakni korupsi, ketidaktahuan, dan kegagalan manajemen risiko.


Negara lain sudah membuktikan bahwa program makan bergizi bisa berjalan aman dan bermartabat. Di Korea Selatan dan Jepang, kantin sekolah berdiri mandiri dan diawasi ahli gizi serta juru masak bersertifikat. Di Cina dan Amerika Serikat, inspeksi harian bukan hanya formalitas di atas kertas. Makanan disajikan di ruang khusus yang steril, bukan di ruang kelas yang panas dan berdebu. Mengapa Indonesia justru memilih jalur berbahaya dengan mengelola makanan anak sekolah lewat proyek politik yang rawan diselewengkan.


Saatnya pemerintah berhenti memaksakan program MBG dalam bentuk sentralistik. Serahkan pengelolaan masakan kepada sekolah masing-masing dengan sistem transparan dan pengawasan langsung oleh kepala sekolah, komite orang tua, atau koperasi sekolah. Negara cukup menyalurkan dana dan melakukan monitor ketat melalui audit publik dan uji laboratorium rutin. Jika terjadi kasus keracunan, tanggung jawab langsung bisa ditelusuri ke unit sekolah, bukan ke entitas fiktif seperti SPPG yang sulit disentuh hukum. Bangun kantin sederhana di setiap sekolah, gunakan bahan segar, hindari pengawet, dan masak harian. Dengan begitu, anggaran triliunan yang selama ini bocor bisa diarahkan untuk memperkuat infrastruktur pendidikan dan layanan dasar lainnya.


Jika pemerintah tetap keras kepala mempertahankan MBG yang busuk sejak dalam konsep maka ini bukan lagi sekadar urusan gizi, tetapi urusan moral dan kemanusiaan. Publik harus bersuara, orang tua harus menolak, guru harus berani bersikap, dan media harus terus membuka kedok kebohongan di balik jargon “bergizi gratis”. Cukup sudah anak-anak bangsa dijadikan kelinci percobaan demi proyek politik. Kita tidak butuh belas kasihan, kita butuh keadilan dan keberanian untuk menghentikan kejahatan berskala nasional ini.


Kuningan, 4 Oktober 2025

Uha Juhana

Ketua LSM Frontal


.RedVox

banner