Buku 100 Hari Kerja Bupati Kuningan Dikecam, Dinilai Gagal Substansi dan Boros Anggaran


KUNINGAN, (VOX) – Peluncuran buku “100 Hari Pertama Kerja Bupati dan Wakil Bupati Kuningan yang berjudul "Fondasi Kuningan Melesat” menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat. Acara yang menghabiskan anggaran hingga Rp100 juta tersebut dianggap tidak sebanding dengan substansi yang disajikan. Banyak pihak menilai buku itu lebih menonjolkan narasi pencitraan ketimbang menyampaikan capaian konkret pembangunan.

Muhamad Sayffulloh Rohman, mahasiswa Universitas Islam Al Ihya Kuningan salah satu peserta yang hadir dalam acara peluncuran, mengungkapkan kekecewaannya secara terbuka. Ia menyayangkan bagaimana anggaran sebesar itu digunakan hanya untuk mencetak dokumentasi kegiatan tanpa kajian mendalam atau data capaian yang bisa diverifikasi publik.

“Membuat buku itu mudah. Tapi mempertemukan pemikiran, data, dan strategi itu yang sulit. Daripada menghabiskan dana untuk buku penuh pujian dan jargon politik, lebih baik adakan Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil,” tegasnya, Kamis (19/06/2025).

Ia menambahkan bahwa Kabupaten Kuningan saat ini tidak kekurangan seremoni, tetapi kekurangan ruang partisipatif yang otentik. Buku tersebut, menurutnya, justru menegaskan kultur satu arah dalam pemerintahan, tanpa membuka ruang kritik maupun alternatif solusi dari warga.

“Kalau bicara kinerja, ukurannya adalah data, dampak, dan keterlibatan masyarakat. Bukan sekedar album kegiatan yang dikemas dalam bentuk buku mewah yang belum tentu dibaca masyarakat,” sambungnya.

Sayffulloh mengusulkan agar ke depan, evaluasi kinerja pemerintah daerah melibatkan universitas sebagai mitra independen yang dapat menelaah capaian berdasarkan indikator yang objektif. Ia menilai pelibatan akademisi dan pemikir lokal akan menciptakan kebijakan yang lebih akurat, partisipatif, dan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.

“Kuningan punya banyak orang pintar. Gunakan mereka. Undang mereka berdiskusi. Jangan biarkan kebijakan lahir dari ruang kosong hanya demi kepentingan pencitraan jangka pendek,” pungkasnya.

Sejumlah aktivis mahasiswa dan tokoh masyarakat lainnya turut mengapresiasi gagasan FGD sebagai bentuk alternatif pelaporan kinerja yang lebih terbuka dan demokratis. Mereka menilai langkah semacam ini akan jauh lebih bermakna dibanding membukukan narasi-narasi tunggal yang tak memberi ruang untuk evaluasi kolektif./AS