Kepala Bappenda Kuningan Jadi Biang Gagalnya Mutasi Pejabat Eselon II


Oleh:
Uha Juhana
Ketua LSM Frontal

KUNINGAN, (VOX) – Kinerja Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, kembali menjadi sorotan publik. Sudah lebih dari tiga bulan sejak ia dilantik, namun proses mutasi dan rotasi terhadap 30 pejabat struktural Eselon II belum juga dilakukan. Padahal, rekomendasi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sudah dikantongi.

Pertanyaan yang muncul di masyarakat adalah ada apa sebenarnya? Jika semua persyaratan administratif sudah lengkap, mengapa mutasi belum juga dieksekusi?

Setelah kami telusuri, penyebab utamanya justru berasal dari internal birokrasi sendiri. Sosok yang diduga kuat menjadi penghambat proses mutasi tersebut adalah Kepala Bappenda saat ini, Guruh Irawan Zulkarnaen, S.STP., M.Si., yang kabarnya sudah diplot sebagai calon Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kuningan.

Masalahnya, Guruh belum memiliki sertifikasi sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), padahal hal tersebut adalah syarat mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satpol PP. Sertifikat PPNS dibutuhkan karena tugas Kepala Satpol PP menyangkut penegakan Peraturan Daerah (Perda) yang bisa masuk ke ranah hukum pidana. Tanpa sertifikat tersebut, penunjukan Guruh melanggar ketentuan hukum dan membuka potensi cacat administrasi.

Lebih ironis lagi, kami menerima informasi bahwa ada upaya dari yang bersangkutan untuk "menyusulkan" sertifikat PPNS agar tetap bisa dilantik. Namun, cara-cara yang digunakan patut dipertanyakan legalitas dan akuntabilitasnya. Apakah proses sertifikasinya valid? Apakah ia benar-benar memenuhi syarat atau hanya akal-akalan demi mempertahankan posisi dan pengaruh?

Jika penegakan aturan saja dimulai dengan pelanggaran aturan, lalu bagaimana kita bisa berharap pada penegakan hukum di tingkat lapangan? Ini bukan hanya persoalan administrasi kepegawaian, melainkan cerminan dari ketidakmampuan kepala daerah dalam mengelola perubahan dan menjalankan sistem meritokrasi yang sehat.

Slogan “Kuningan Melesat” jadi terasa kosong makna jika realitas di lapangan justru menunjukkan kemunduran dalam tata kelola birokrasi. Yang terjadi hari ini adalah praktik kompromi terhadap integritas, demi meloloskan orang yang belum layak secara aturan untuk menduduki jabatan strategis.

Sebagai LSM yang konsisten mengawal isu-isu transparansi dan akuntabilitas publik, kami mendesak Bupati Kuningan agar segera bersikap tegas. Jangan sampai proses mutasi dan rotasi tersandera oleh kepentingan oknum yang tidak siap, baik secara kompetensi maupun integritas.

Kepala daerah harus berani menegakkan aturan, sekalipun itu menyulitkan kolega atau lingkaran dekatnya. Kegagalan mutasi ini adalah sinyal awal dari melemahnya kontrol atas birokrasi. Jika tidak dibenahi, maka “Kuningan Melesat” hanya akan menjadi jargon tanpa arah.