
Oleh:
Dhika Purbaya
Ketua PMII
Cabang Kuningan
KUNINGAN, (VOX) - Program launching buku "100 Hari Kerja Bupati Kuningan" digelar secara meriah, penuh sorotan media dan puja-puji atas capaian awal kepemimpinan. Namun, sebagai mahasiswa yang berpihak pada rakyat, kami menilai acara ini tidak lebih dari panggung pencitraan, yang menyembunyikan sederet persoalan nyata yang dialami masyarakat Kuningan.
Lebih dari itu, isi buku tersebut penuh glorifikasi, miskin kritik, dan bahkan menampilkan tindakan ceroboh yang melanggar prinsip perlindungan data pribadi. Terlebih Buku ini, yang digadang-gadang sebagai wujud akuntabilitas dan transparansi kinerja kepala daerah, justru menyisakan sejumlah pertanyaan krusial yang belum terjawab dengan jelas.
KRITIK SUBSTANSIAL TERHADAP PROGRAM 100 HARI KERJA
1. Buku Sebagai Alat Publikasi, Bukan Evaluasi
Kami menilai bahwa buku ini lebih menyerupai dokumen pencitraan dibanding evaluasi berbasis indikator kerja nyata. Banyak narasi yang dibangun secara deskriptif tanpa disertai dengan data terukur, grafik perkembangan, atau indikator keberhasilan yang objektif.
2. Penurunan Opini BPK: WTP Turun Menjadi WDP
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menurunkan opini laporan keuangan Pemkab Kuningan dari Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Hal ini menandakan adanya persoalan serius dalam pengelolaan anggaran, termasuk kelemahan sistem pengendalian dan ketidaktepatan belanja daerah. Sayangnya, buku 100 hari justru diam seribu bahasa terhadap fakta ini.
3. Persoalan Pedagang Siliwangi yang Tak Kunjung Dituntaskan dan UMKM Gagal Dijangkau
Pelatihan UMKM hanya menyentuh sebagian kecil pelaku usaha. Tidak ada program menyeluruh yang memfasilitasi legalitas usaha, akses pasar, atau pinjaman berbunga rendah. Pemberdayaan yang ditulis dalam buku hanyalah permukaan yang manis. Bahkan, Pedagang di kawasan Siliwangi masih bergulat dengan ketidakjelasan nasib. Mereka dipindahkan secara tergesa tanpa solusi yang adil dan manusiawi. Janji relokasi yang layak belum terealisasi sepenuhnya, sementara mata pencaharian mereka terancam. Ironisnya, narasi tentang ekonomi rakyat dalam buku 100 hari malah mengklaim keberhasilan penataan kawasan tanpa menyebut dampak sosial yang ditimbulkan. Ini bentuk penghapusan realitas rakyat dalam narasi kekuasaan.
4. Kecerobohan Fatal: Data KTP Masyarakat Terpublikasi di Buku
Kami mengecam keras tindakan ceroboh Pemkab Kuningan yang memasukkan data pribadi berupa nomor KTP warga dalam buku yang didistribusikan secara terbuka. Hal ini tidak hanya melanggar prinsip dasar perlindungan data pribadi, tetapi juga mengancam keamanan identitas warga. Di era digital seperti ini, publikasi data sensitif adalah bentuk kelalaian yang tidak bisa ditoleransi.
5. Infrastruktur Pencitraan, Bukan Prioritas Rakyat
Program yang digadang-gadang sebagai "lompatan perubahan" malah sibuk dengan kegiatan-kegiatan seremonial. Padahal masyarakat desa masih menghadapi jalan rusak, krisis air bersih, dan akses pelayanan kesehatan yang terbatas.
6. Minim Partisipasi Publik
Penyusunan buku tersebut tampaknya dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan unsur masyarakat sipil, maupun akademisi. Padahal, transparansi sejati tidak hanya sebatas melaporkan, tetapi juga membuka ruang diskusi dan kritik dari masyarakat. Dalam proses penyusunan buku maupun acara peluncurannya, kami tidak melihat adanya pelibatan masyarakat, akademisi independen, maupun kelompok sipil yang kritis. Ini menandakan bahwa buku tersebut bukanlah cerminan evaluasi publik, melainkan narasi sepihak yang dirancang untuk membangun kesan positif tanpa transparansi.
7. Retorika Lingkungan yang Kosong
Alih-alih melindungi hutan dan mata air, kebijakan lingkungan hanya sebatas penanaman pohon simbolik dan kampanye kosmetik. Tambang liar dan degradasi lahan tetap berlangsung tanpa pengawasan tegas. Ditambah lagi, persoalan lahan produktif yang dibangun secara komersil dilahan LP2B yang dimudahkan perizinannya, sehingga lahan produktif di kuningan semakin berkurang. Lalu, bagaimana mau berbicara kuningan sebagai penopang ketahanan pangan kalo hari ini saja masih banyak lahan produktif yang berkurang.
TUNTUTAN KAMI:
1. Buka ruang diskusi publik Evaluasi menyeluruh secara terbuka dan transparan atas program 100 hari bersama publik, akademisi, dan masyarakat sipil.
2. Penyelesaian konflik pedagang Siliwangi secara adil, bermartabat, dan transparan.
3. Hentikan program simbolik dan prioritaskan kebutuhan dasar masyarakat desa dan pinggiran.
4. Audit independen terhadap realisasi program dan penggunaan anggaran 100 hari.
5. Pemkab Kuningan harus bertanggung jawab atas kebocoran data KTP dan meminta maaf kepada publik.
6. Hentikan budaya seremonial tanpa substansi yang hanya menyedot anggaran publik.
7. Proses perizinan LP2B diperketat dan harus sesuai dengan Peraturan Daerah No.7 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
KESIMPULAN: PENCITRAAN DI ATAS PENDERITAAN
Buku ini tidak hanya gagal menjadi refleksi, tapi juga berbahaya: menyembunyikan masalah, mengklaim keberhasilan semu, dan bahkan melakukan pelanggaran data pribadi. Di tengah kondisi rakyat yang masih terlilit masalah ekonomi dan ketidakpastian, buku ini lebih pantas disebut “100 Hari Menipu Publik” daripada 100 Hari Kerja.
Kami berharap ke depan pemerintah daerah tidak hanya mengejar pencitraan jangka pendek, namun benar-benar membuka ruang partisipasi dalam proses pembangunan yang berkeadilan, partisipatif, dan berdampak nyata. Kritik kami ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan sebagai bentuk cinta terhadap Kuningan yang lebih baik dan berintegritas. "Data rakyat bukan bahan pamer, dan derita rakyat bukan ruang pencitraan.". Keterlibatan aktif masyarakat dan mahasiswa dalam proses evaluasi dan perumusan kebijakan harus dijamin, bukan dimanipulasi sebagai pendukung pasif. Buku boleh dicetak, tetapi suara rakyat tak boleh dikebiri. Kami akan terus mengawal, mengkritisi, dan mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan panggung pertunjukan.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat! Hidup Perjuangan!