Musim Kemarau Mundur, BMKG: Curah Hujan Masih Tinggi, Petani Perlu Siap Hadapi Risiko Ganda
Juni 20, 2025
JAKARTA, (VOX) — Musim kemarau tahun 2025 datang lebih lambat dari biasanya. Hingga awal Juni, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat baru 19 persen zona musim di Indonesia yang benar-benar masuk musim kemarau. Mayoritas wilayah tanah air masih diguyur hujan, fenomena yang tak lazim jika merujuk pada kalender klimatologis normal.
Kemunduran ini, menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, disebabkan curah hujan tinggi yang berlangsung sejak April hingga Mei 2025.
“Prediksi musim dan iklim bulanan yang kami rilis sejak Maret menunjukkan adanya anomali curah hujan di atas normal. Ini menjadi dasar utama prediksi mundurnya musim kemarau tahun ini,” ujarnya dalam konferensi pers, Sabtu (21/06/2025).
Wilayah selatan Indonesia mulai dari Sumatera Selatan, Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT adalah kawasan yang paling terdampak anomali tersebut. Kondisi basah yang berkepanjangan menggagalkan transisi alam menuju kemarau yang biasanya sudah dimulai.
Meski begitu, data Dasarian I Juni menunjukkan tren pergeseran. Sekitar 72 persen wilayah kini berada dalam kategori curah hujan normal, 23 persen lebih kering dari biasanya, dan hanya 5 persen yang masih berada di atas normal. Namun, transisi ini masih bersifat parsial dan belum merata secara spasial.
“Wilayah Sumatera dan Kalimantan justru lebih dulu mengalami pengurangan hujan. Ini menunjukkan awal kemarau cenderung muncul lebih cepat di sana,” jelas Dwikorita.
Lebih mencemaskan lagi, BMKG memperkirakan curah hujan kategori atas normal akan terus berlangsung di sejumlah daerah hingga Oktober 2025. Artinya, musim kemarau kali ini berpotensi singkat namun tetap basah, sebuah kombinasi tak biasa yang menghadirkan tantangan dan risiko berlapis, khususnya di sektor pertanian.
Di satu sisi, irigasi alami dari hujan bisa menjadi berkah bagi petani padi. Tapi di sisi lain, kelembapan tinggi menjadi ancaman nyata bagi petani hortikultura. Tanaman seperti cabai, bawang, dan tomat sangat rentan terhadap penyakit dan serangan hama dalam kondisi ini.
“Kami imbau para petani hortikultura untuk bersiap dengan sistem drainase yang baik dan perlindungan tanaman. Jangan anggap ini musim kemarau seperti biasa,” kata Dwikorita tegas.
BMKG juga mengingatkan bahwa fenomena ini bukan kasus tunggal, melainkan bagian dari gejala perubahan iklim global yang semakin nyata. Ketidakpastian cuaca kini menjadi keniscayaan yang harus dihadapi dengan adaptasi cepat, bukan lagi berpaku pada pola lama.
“Kita tak bisa lagi mengandalkan kebiasaan iklim masa lalu. Kebijakan dan perencanaan sektor-sektor strategis harus mulai berpijak pada data prediktif dan sains iklim terkini,” ujar Dwikorita.
Dengan sistem pemantauan atmosfer yang terus diperbarui secara real time, BMKG menegaskan komitmennya untuk menyampaikan informasi cuaca dan iklim yang akurat, relevan, dan mudah dipahami publik.
“Musim kemarau tahun ini bukan hanya tantangan, tapi juga ujian ketahanan adaptasi nasional. BMKG siap mendampingi setiap langkah agar kita tidak hanya selamat dari dampaknya, tapi juga mampu mengambil peluang dari setiap perubahan,” pungkasnya./Red