PPDB ZONASI: Kebijakan Setengah Hati yang Merampas Harapan Anak Bangsa


KUNINGAN, (VOX) — Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali jadi sorotan tajam. Alih-alih menjadi solusi pemerataan akses pendidikan, kebijakan ini justru dinilai menciptakan ketimpangan baru, memperbesar kesenjangan psikologis, dan membuka celah praktik kecurangan yang makin membudaya.

Aktivis Yudi Setiadi dari Masyarakat Peduli Kuningan (MPK) menyebut sistem ini sebagai “produk kebijakan setengah hati” yang hanya mengedepankan kemasan pemerataan tanpa menyentuh akar masalah, ketimpangan mutu antar sekolah, lemahnya pengawasan, dan minimnya keberpihakan terhadap prestasi serta integritas sistem pendidikan.


“Zonasi itu seolah-olah adil, padahal menutup mata dari realitas bahwa tidak semua sekolah punya kualitas yang sama. Pemerintah memaksa warga tunduk pada sistem, tanpa menjamin kualitas sekolah di zona mereka. Ini bukan pemerataan, ini pemaksaan,” tegas Yudi dalam keterangannya.

Menurutnya, setiap musim PPDB tiba, bukan solusi yang hadir, melainkan kecemasan massal. Orang tua terpaksa berpikir curang demi masa depan anak, siswa dipaksa menerima kenyataan pahit, sementara sekolah dan panitia justru jadi sasaran tekanan dari luar.

“Kita bicara soal hak pendidikan, tapi pelaksanaannya penuh tekanan. Panitia sekolah ditekan, data dimanipulasi, domisili dipalsukan. Titipan terjadi secara terang-terangan. Apakah ini yang kita sebut sistem?” cetusnya.

Yudi juga menyinggung ironi moral dalam kebijakan pendidikan yang lebih mengedepankan titik koordinat daripada nilai dan usaha anak-anak. Banyak siswa berprestasi yang tersingkir hanya karena kalah dalam administrasi radius, sementara anak-anak lain masuk lewat “jalan belakang”.

“Anak-anak dibiasakan kalah oleh sistem, bukan karena kurang pintar, tapi karena rumahnya salah titik. Mereka dipaksa percaya bahwa jarak rumah lebih penting dari nilai rapor. Ini pendidikan macam apa?” sindirnya tajam.

Tekanan mental, rasa ketidakadilan, hingga putus asa dini menjadi dampak nyata dari sistem ini. Yudi mengingatkan bahwa kita sedang menyemai benih apatisme generasi, dan jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan lahir generasi yang cerdas tapi kehilangan kepercayaan pada negaranya.

“Yang paling berbahaya bukan hanya manipulasi data, tapi hilangnya semangat berjuang. Anak-anak jadi tidak percaya pada usaha. Ini akan menumbuhkan generasi yang skeptis, apatis, bahkan sinis terhadap negara,” ujarnya.

Dalam tinjauan Hukum Administrasi Negara, lanjut Yudi, sistem zonasi telah mengabaikan prinsip dasar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas, dan nondiskriminasi seolah dikalahkan oleh urusan teknis yang kaku dan tidak sensitif terhadap realita sosial.

“Zonasi semestinya alat untuk mengatasi ketimpangan, bukan membungkam pilihan dan memaksa masyarakat tunduk pada ketidakjelasan arah kebijakan. Kalau sistem ini terus dipertahankan tanpa perbaikan menyeluruh, maka kita sedang mempermalukan pendidikan secara kolektif,” tegasnya lagi.

Masyarakat Peduli Kuningan (MPK) mendesak dilakukan evaluasi total dan terbuka terhadap sistem zonasi. Evaluasi ini, menurut Yudi, bukan hanya soal mengganti aturan, tapi menata ulang nilai-nilai dasar dalam pendidikan nasional: bahwa sekolah bukan hanya tempat mengajar, tapi tempat membentuk keadilan, integritas, dan masa depan bangsa.

“Pemerintah harus berani akui bahwa sistem ini cacat sejak implementasi. Kita tidak butuh tambal sulam, kita butuh keberanian moral untuk membenahi akar masalah. Jangan biarkan anak-anak terus jadi korban eksperimen kebijakan,” pungkasnya./AS