Koordinator DEEP Soroti Putusan MK: “Perpanjangan Jabatan DPR Tanpa Pemilu, Cederai Mandat Rakyat”
Juli 06, 2025
KUNINGAN, (VOX) – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang perpanjangan masa jabatan anggota DPR dan DPD tanpa pemilu dalam situasi tertentu menuai reaksi keras dari kalangan pegiat demokrasi. Salah satunya datang dari Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Kuningan.
Koordinator DEEP Kuningan, Oon Mujahidin, menilai putusan tersebut sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan rakyat.
“Kalau jabatan diperpanjang tanpa pemilu, kita sedang menukar kedaulatan rakyat dengan kenyamanan elit. Ini bukan soal teknis, tapi soal prinsip dasar demokrasi,” tegas Oon, yang akrab disapa Om Pecoy.
Aktivis yang telah berkecimpung lebih dari satu dekade dalam advokasi pemilu dan pendidikan politik ini mengingatkan bahwa pemilu adalah sarana utama rakyat menyampaikan kehendaknya. Menunda atau bahkan menghapuskan pemilu demi memperpanjang jabatan, menurutnya, sama dengan mencabut hak rakyat untuk memilih.
“Kekuasaan yang tidak lahir dari pemilu, bukan berasal dari rakyat, tapi dari celah hukum yang dimanfaatkan secara sepihak,” tegasnya lagi.
DEEP Kuningan, bersama jejaring DEEP Indonesia, khawatir putusan MK ini akan menjadi preseden berbahaya. Jika logika perpanjangan jabatan tanpa pemilu diterima begitu saja, maka tidak menutup kemungkinan praktik serupa terjadi di level pemerintahan daerah.
“Di daerah saja tarik-menarik kekuasaan sudah sangat kuat. Kalau perpanjangan jabatan jadi hal lumrah, maka yang tersisa cuma legalitas administratif. Bukan legitimasi moral dari rakyat,” jelas Oon.
Tak hanya soal jabatan legislatif, DEEP juga menyoroti implikasi lain dari putusan MK terkait pemisahan antara pemilu nasional dan pilkada. Dengan jeda waktu dua tahun antara Pemilu 2029 dan Pilkada 2031, muncul pertanyaan besar? siapa yang akan mengisi kekosongan jabatan kepala daerah?
“Kalau semua ditunjuk penjabat atau diperpanjang tanpa pemilu, krisis mandat rakyat tak terhindarkan,” ujarnya.
Menurut DEEP, pemisahan jadwal pemilu hanya akan efektif jika dibarengi dengan reformasi menyeluruh terhadap sistem politik lokal termasuk perbaikan mekanisme pencalonan, pendanaan politik, hingga pendidikan pemilih.
“Tanpa pembenahan partai dan pembatasan dominasi elite lokal, pemilu yang lebih banyak hanya memperluas ruang transaksi politik. Demokrasi jadi mahal, tapi miskin makna,” pungkasnya. /Red