Penutupan TPSS di Purwawinangun Dinilai Picu Maraknya Pembuangan Sampah ke Sungai dan Ancaman Serius bagi Kesehatan Lingkungan


KUNINGAN, (VOX) — Penutupan sejumlah Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPSS) oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kuningan, khususnya di wilayah padat penduduk seperti Kelurahan Purwawinangun, memicu krisis lingkungan yang semakin tak terbendung. Alih-alih menyelesaikan persoalan tata kelola sampah, kebijakan ini justru membuka kembali praktik-praktik buruk yang lama ditinggalkan yaitu pembuangan sampah langsung ke aliran sungai.

Kini, Sungai Cimarilit dan Citamba dipenuhi limbah domestik, plastik sekali pakai, hingga kotoran hewan dari wilayah peternakan Cipari. Bau menyengat menyelimuti pemukiman sekitar dan air sungai berubah menjadi media penyebaran penyakit. Warga yang dulu memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari kini hidup dalam ketakutan terhadap ancaman infeksi kulit, gangguan pencernaan, hingga penyakit menular berbasis air.


Oki Rahmania, aktivis lingkungan sekaligus Ketua Karang Taruna Gema Purwa, Kelurahan Purwawinangun Kabupaten Kuningan mengecam keras kebijakan ini. Menurutnya, keputusan yang diambil secara sepihak tanpa penyediaan infrastruktur alternatif adalah bentuk kelalaian pemerintah terhadap hak dasar warga.

“Ini bukan hanya soal sampah, tapi soal keselamatan warga. Negara tidak bisa berlindung di balik alasan estetika kota dan menutup mata atas kenyataan di lapangan. Kami kehilangan titik buang sampah, padahal volume limbah rumah tangga dan aktivitas komersial terus meningkat. Apakah solusinya membiarkan warga membuang ke sungai? Ini bencana yang diciptakan oleh kebijakan,” tegas Oki, Selasa (01/07/2025).

Menurutnya, DLH gagal menyusun strategi transisi yang bertanggung jawab. Tiga hingga lima gerobak motor pengangkut sampah yang disediakan untuk 57 RT di Purwawinangun sangat tidak memadai. Akibatnya, masyarakat memilih jalur instan: membuang sampah ke sungai atau lahan kosong. Padahal, kawasan tersebut berada di jantung kota dan hanya beberapa ratus meter dari pusat pemerintahan Kabupaten Kuningan.

“Lingkungan kami menjadi korban dari kegagalan birokrasi. DLH seolah hanya ingin membuat kota terlihat bersih dari luar, tapi membiarkan racun mengalir di bawah permukaan. Ini bukan peradaban, ini kemunduran,” tambah Oki.

Situasi ini bertentangan langsung dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah daerah bahkan diwajibkan untuk menjamin tersedianya sarana dan prasarana pengelolaan sampah secara berwawasan lingkungan. Namun faktanya, ketika TPSS ditutup, tidak ada alternatif yang layak disiapkan.

Satu-satunya TPS yang masih bertahan di Jalan Ir. Soekarno pun kini kolaps akibat kelebihan muatan. Dibangun secara swadaya oleh masyarakat, TPS ini menjadi muara dari berbagai titik, termasuk dari permukiman baru dan deretan rumah makan. Kondisinya tak lagi mampu menampung volume harian, sehingga berpotensi menimbulkan gangguan lalu lintas, longsoran sampah, dan pencemaran udara karena bau busuk yang akut.

Karang Taruna Gema Purwa bersama warga menuntut Pemkab Kuningan segera meninjau ulang kebijakan penutupan TPSS dan menyusun ulang sistem pengelolaan sampah berbasis kebutuhan nyata masyarakat. Usulan yang disampaikan antara lain pembangunan TPSS terpadu dengan sistem pemilahan dan pengolahan modern, armada pengangkut memadai, serta edukasi langsung kepada masyarakat soal budaya buang sampah yang sehat.

“Kalau pemerintah tidak sanggup menyelesaikan masalah sampah, jangan justru menyalahkan warga. Kami siap bekerja sama, tapi jangan abaikan suara kami. Kota ini tidak akan bersih jika lingkungannya dibiarkan sakit,” tutup Oki.

Rakyat punya hak untuk hidup di lingkungan yang sehat bukan hanya untuk difoto dari kejauhan. Tanpa perubahan nyata, krisis sampah di Kuningan hanya akan menjadi bom waktu ekologis yang meledak di tengah jantung kota./AS