Tahun Ujian bagi Badan Kehormatan DPRD Kuningan: Masyarakat Tak Butuh Basa-Basi, Tapi Ketegasan!
Juli 02, 2025
KUNINGAN, (VOX) – Tahun politik belum benar-benar dimulai, namun DPRD Kuningan sudah “panas dalam”. Bukan soal legislasi atau pengawasan, tetapi sorotan tajam terhadap Badan Kehormatan (BK) yang dinilai mandek, ragu-ragu, dan bahkan dianggap “takut” menghadapi elite partai.
Setelah sempat mendapat apresiasi dalam penanganan kasus Saudara R yang berujung pada pemecatan melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW), kini BK kembali dihadapkan pada ujian berat. Kali ini, publik menyoroti dugaan pelanggaran etika oleh dua anggota dewan, inisial T dan S, dengan pola yang mirip: relasi kuasa, relasi asmara, dan penghinaan terhadap martabat perempuan.
Sayangnya, respons BK dinilai jauh dari harapan. Suara-suara dari mahasiswa, aktivis, hingga tokoh masyarakat mulai menyuarakan kekecewaan terhadap lambannya penanganan kasus, dan mencuatnya dugaan intervensi politik.
Faried Arief, aktivis vokal dan pendiri Aliansi Persaudaraan Islam Kuningan (APIK), dengan keras menolak anggapan bahwa ini hanyalah urusan privat atau legalitas nikah siri.
“Yang kami persoalkan adalah sikap pejabat publik yang mempermainkan martabat perempuan, bukan status hukumnya. Ketika seorang wakil rakyat memanfaatkan posisi dan relasi kuasa untuk kepentingan pribadi, itu pengkhianatan terhadap etika publik,” tegas Faried.
Faried juga menuding BK mulai kehilangan nyali ketika yang dilaporkan berasal dari partai besar. Ia menilai ada kesan kuat bahwa BK lebih tunduk pada kekuasaan partai ketimbang amanah rakyat.
“Kalau pelanggar berasal dari partai gurem, cepat ditindak. Tapi kalau dari partai besar, malah ditarik ulur. BK itu bukan perpanjangan tangan partai, tapi penjaga marwah DPRD!” lanjutnya.
Selain ketegasan, publik kini menuntut transparansi penuh. Prosedur penanganan aduan etik seharusnya disampaikan terbuka mulai dari disposisi Ketua DPRD, pemeriksaan BK, klarifikasi, hingga sidang dan keputusan.
Faried memperingatkan, jika BK tetap bungkam, maka kecurigaan publik bahwa ada permainan politik di balik meja akan semakin menguat.
“Kita hidup di era keterbukaan. Rakyat berhak tahu siapa yang diperiksa, sejauh mana prosesnya, dan apa hasilnya. Kalau diam terus, nanti masyarakat anggap BK sedang main mata,” sindirnya.
Dalam banyak pernyataan pembelaan, kasus ini sering dibelokkan menjadi “ranah privat”. Namun publik tak melihat ini sebagai urusan rumah tangga biasa. Yang dipersoalkan adalah konsekuensi etik dan moralitas pejabat publik, terlebih jika sikap mereka mempermainkan perempuan demi menyelamatkan citra politik pribadi.
“Etika publik itu bukan cuma soal hukum, tapi soal kepercayaan rakyat. Kalau anggota dewan memperlakukan perempuan semaunya, lalu cuci tangan karena takut efek elektoral, itu pelecehan terhadap akal sehat konstituen,” tegas Faried.
Dengan meningkatnya kesadaran politik masyarakat, terutama di kalangan pemilih muda, diamnya BK bukan lagi dianggap bijak tapi pengecut. Kepercayaan terhadap DPRD dipertaruhkan, dan jika BK gagal menjaga integritasnya, maka tak ada alasan bagi publik untuk tetap percaya.
“Kita tidak butuh BK yang hanya aktif saat disorot kamera. Kita butuh BK yang berani menindak siapa pun pelaku pelanggaran, entah dari partai kecil atau partai penguasa. Kalau tidak bisa, lebih baik bubar saja,” tutup Faried.
Catatan Akhir: Masyarakat Tak Lagi Bungkam
Rakyat kini tak menunggu hasil, mereka juga ingin tahu proses. Dan proses yang tidak transparan, apalagi dikendalikan oleh kepentingan politik, akan menjadi bumerang bagi DPRD secara keseluruhan.
Badan Kehormatan DPRD Kuningan sedang dalam ujian sejarah. Apakah akan berdiri sebagai penjaga integritas, atau tenggelam sebagai simbol kompromi politik?
Waktu akan menjawab. Tapi publik sudah menyalakan lampu peringatan./AS