![]() |
(dr. Tan Shot Yen / Foto : TV Parlemen) |
JAKARTA, (VOX) – Suara kritis mengemuka dalam audiensi Komisi IX DPR RI dengan Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), CISDI, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), serta sejumlah pakar gizi dan kesehatan pada Senin (22/9/2025). Salah satu yang paling tajam datang dari dr. Tan Shot Yen, seorang dokter dan ahli gizi yang sejak lama dikenal vokal mengawal isu pangan dan kesehatan masyarakat.
Dalam paparannya, dr. Tan menilai program Makanan Bergizi (MBG) dan operasional Sentra Pangan dan Gizi (SPPG) telah keluar jalur dari semangat peraturan yang berlaku. Ia mengingatkan bahwa sejak terbitnya Permenkes No. 41 Tahun 2014, konsep gizi seimbang sudah meninggalkan pola lama “4 sehat 5 sempurna”. Namun dalam praktik MBG, susu masih dijadikan menu utama, padahal sumber protein bangsa Indonesia sangat beragam.
“Susu itu bukan yang utama. Selama ada telur, ikan, daging, bangsa kita tidak kekurangan protein. Jangan sampai pola makan kita malah dikembalikan ke era lama,” tegasnya.
Ia juga mengungkap sejumlah temuan di lapangan yang menunjukkan kualitas MBG jauh dari standar gizi. Mulai dari pembagian susu manis kemasan dengan label “tidak cocok untuk bayi di bawah 12 bulan”, pemberian bubur instan untuk anak di atas satu tahun, hingga camilan kemasan seperti kacang dengan aspartam yang jelas-jelas berbahaya bagi anak dan ibu hamil.
Lebih jauh, dr. Tan mengkritik lemahnya aspek edukasi. Menurutnya, dalam dokumen resmi BGN sendiri sebenarnya ditegaskan bahwa pemberian makanan bergizi harus disertai edukasi oleh Kedeputian Bidang Promosi dan Kerja Sama. Namun di lapangan, edukasi nyaris tidak ada. “Masyarakat kalau bertanya malah disuruh diam, cukup diberi jempol dan bersyukur. Padahal publik sekarang makin cerdas,” ucapnya.
Pakar gizi yang juga aktif dalam advokasi kesehatan masyarakat ini turut menyoroti adanya penandatanganan kerja sama BGN dengan salah satu perusahaan susu formula multinasional. Menurutnya, hal tersebut jelas menyalahi semangat regulasi yang ada. “Bangsa kita tidak butuh formula. Bangsa kita butuh edukasi, supaya anak bisa menyusu sampai dua tahun. Kita punya MPASI lokal yang jauh lebih sehat,” katanya.
Ia lalu menyinggung kondisi SPPG yang dibangun dengan dana besar, namun tak diimbangi kapasitas SDM gizi yang memadai. “Masyarakat tanya, apakah di SPPG ada ahli gizi? Ada. Tapi ditanya soal HACCP saja tidak paham. Mereka hanya sibuk hitung kalori, padahal kualitas makanan jauh lebih penting,” jelasnya.
Di hadapan anggota dewan, dr. Tan menyampaikan empat reformasi yang mendesak dilakukan:
1. Menghentikan distribusi makanan kering berbasis produk industri (ultra-processed food).
2. Menghentikan operasional SPPG bermasalah, termasuk yang potensial menimbulkan risiko kesehatan.
3. Meningkatkan kualitas tenaga gizi dengan pemahaman standar keamanan pangan internasional.
4. Menerapkan sistem monitoring, evaluasi, dan supervisi yang transparan serta akuntabel.
Selain itu, ia menawarkan lima rekomendasi untuk memperbaiki arah kebijakan MBG:
1. Prioritaskan wilayah 3T sebagai sasaran utama program, dengan membina kantin sekolah sebagai pengganti dapur SPPG yang mahal.
2. Bangun kerja sama dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas, bukan hanya BPOM, dalam pengawasan makanan bergizi.
3. Transparansi keuangan dengan membuka informasi dapur dan penyedia makanan kepada publik.
4. Pastikan adanya edukasi gizi, sesuai janji BGN, agar anak-anak dan orang tua memahami pola makan yang benar.
5. Libatkan UMKM sehat berbasis pangan lokal, bukan sekadar pemasok produk instan dan frozen food.
Dr. Tan juga mengingatkan bahwa persoalan MBG sudah terpantau media internasional. “Yang diliput media asing baru soal kasus keracunan. ABC Australia dan Reuters sudah menyorot. Kalau tidak segera dibenahi, malu kita sebagai bangsa,” ujarnya.
Menurutnya, program MBG seharusnya menjadi momentum memperkuat pangan lokal dan mendidik masyarakat, bukan justru membuka pasar bagi industri makanan instan. “Selama 80 tahun kita sudah berjuang mendidik masyarakat soal gizi. Jangan sampai dihabiskan begitu saja hanya karena produk-produk instan merajalela,” pungkasnya.
.RedVox