KUNINGAN, (VOX) – Ketidakhadiran sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Kuningan dinilai sebagai bentuk pembangkangan birokrasi terhadap prinsip demokrasi dan etika pemerintahan. Kritik tajam dilontarkan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kuningan yang menyebut absennya para pejabat bukan hanya mencoreng nama baik Pemkab, tapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan.
Dalam forum yang semestinya menjadi ajang pertanggungjawaban dan transparansi kebijakan publik itu, hanya Wakil Bupati dan sebagian kecil unsur SKPD yang hadir. Ketidakhadiran para kepala dinas dianggap sengaja dan mencerminkan sikap arogan, seolah-olah lembaga DPRD dan rakyat yang diwakilinya tidak layak dihormati.
“Kami menilai ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi bentuk pelecehan terang-terangan terhadap DPRD dan masyarakat Kuningan. SKPD telah melecehkan forum resmi daerah, dan ini tak bisa ditoleransi,” tegas Dhika Purbaya, Ketua Umum PMII Cabang Kuningan, Kamis (26/06/2025).
Birokrasi Antikritik dan Tidak Akuntabel
PMII menegaskan bahwa kehadiran Wakil Bupati tidak cukup mewakili fungsi teknis yang seharusnya dijelaskan langsung oleh pejabat bersangkutan. Ketidakhadiran tersebut membuka ruang bagi praktik pengaburan informasi publik, melemahkan fungsi pengawasan legislatif, dan mengindikasikan pemerintahan yang tidak siap dikritik.
“Forum paripurna bukan seremoni. Ini forum konstitusional tempat rakyat mengawasi jalannya pemerintahan. Ketika SKPD mangkir, mereka sedang menghina konstitusi,” ujar Dhika.
Lebih jauh, PMII menilai tindakan ini sebagai bentuk perlawanan diam-diam dari birokrasi terhadap keterbukaan, sekaligus sinyal kegagalan Bupati dalam menegakkan disiplin dan integritas aparatur.
PMII Tuding Ada Pembiaran oleh Kepala Daerah
Menurut PMII, absennya SKPD dalam jumlah besar tidak mungkin terjadi tanpa ada pembiaran sistemik. Mereka menduga lemahnya kepemimpinan dalam mengarahkan dan menindak aparatur membuat forum-forum penting seperti rapat paripurna dianggap tidak relevan oleh birokrasi.
PMII mengingatkan bahwa sikap tersebut telah melanggar:
PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang menuntut integritas dan akuntabilitas tinggi dari ASN.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 69 dan 70, yang menegaskan tanggung jawab kepala daerah dan perangkatnya kepada publik melalui DPRD.
Prinsip dasar etika publik, yang mengharuskan pejabat hadir dan siap mempertanggungjawabkan tugasnya secara terbuka.
PMII Tuntut Tindakan Nyata, Bukan Klarifikasi Kosong
PMII Cabang Kuningan menolak segala bentuk alasan normatif atau klarifikasi yang cenderung membela ketidakhadiran tersebut. Menurut mereka, saat forum resmi dilecehkan, maka yang sedang dilecehkan adalah suara rakyat itu sendiri.
Untuk itu, PMII mendesak:
1. Bupati Kuningan segera menjatuhkan sanksi tegas terhadap pimpinan SKPD yang tidak hadir, tanpa pandang bulu.
2. DPRD Kuningan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut dugaan pembangkangan kolektif birokrasi terhadap forum legislatif.
3. Publik diberi ruang luas untuk mengawasi SKPD, melalui mekanisme transparansi dan pelibatan masyarakat, sebagaimana dijamin UU KIP No. 14 Tahun 2008.
4. Menghentikan budaya birokrasi feodal, yang menempatkan eksekutif sebagai penguasa tunggal tanpa kontrol rakyat.
“Kejadian ini bukan insiden administratif biasa. Ini adalah sinyal darurat. Ketika pejabat publik bisa dengan enteng mengabaikan forum resmi, itu tandanya sistem kita sedang sakit. Dan saat sistem sakit, rakyatlah yang paling menderita,” pungkas Dhika./Red