Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk merelokasi Gedung Sejarah Pemuda dari kawasan pusat kota merupakan potret nyata kegagalan dalam merancang perencanaan kota yang partisipatif dan berbasis makna. Gedung tersebut bukan sekadar bangunan tua, melainkan simbol kolektif sejarah gerakan pemuda yang hidup berdampingan dengan denyut ruang publik dan aktivitas ekonomi rakyat.
Pemindahan gedung ini telah menghilangkan simpul edukatif yang mengaitkan sejarah lokal dengan identitas ruang kota. Kini, Taman Kota kehilangan daya tariknya—baik sebagai ruang interaksi sosial, titik temu komunitas, maupun kawasan kuliner dan UMKM yang pernah hidup berdampingan dengan semangat sejarah.
Ironisnya, relokasi ini dilakukan tanpa disertai dengan dokumen rencana induk kawasan atau penataan integratif lintas sektor. Akibatnya, fungsi ruang menjadi tercerai-berai. Dinas-dinas teknis seperti Dishub, Pariwisata, Satpol PP, dan UMKM terlihat berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang menyatu. Yang terjadi bukan revitalisasi, melainkan kekacauan fungsional ruang kota.
Dampaknya terasa langsung. Pedagang kaki lima dan pelaku UMKM di sekitar Foodcourt Juara mengalami penurunan omzet drastis. Bukan karena tempatnya tidak layak, melainkan karena ekosistem ruang yang tidak dirancang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi rakyat kecil. Sirkulasi pengunjung tidak dibentuk, koneksi dengan ruang sejarah diputus, dan promosi kawasan pun nyaris nihil.
Lebih jauh, relokasi ini juga menyingkirkan Sekretariat KNPI dari lokasi strategisnya di samping Taman Kota. Padahal, tempat itu bukan hanya saksi sejarah, tetapi juga ruang kaderisasi pemuda yang telah melahirkan banyak pemimpin daerah. Termasuk, Bupati Kuningan saat ini—yang tidak lain adalah mantan Ketua KNPI yang pernah tumbuh dan ditempa di sekretariat tersebut.
Oleh karena itu, publik berhak berharap bahwa Bupati memahami betul nilai historis dan simbolik dari Gedung Sejarah Pemuda. Dukungan beliau untuk mengembalikan Sekretariat KNPI ke tempat asalnya di samping Taman Kota bukan hanya tindakan korektif, tapi juga bentuk penghormatan terhadap sejarah gerakan pemuda di Kuningan.
Jika relokasi adalah keniscayaan, maka kompensasinya harus berupa narasi ruang baru yang setara—dari sisi aksesibilitas, fungsi sosial, dan nilai sejarah. Namun yang terjadi kini justru sebaliknya: Taman Kota menjadi ruang kosong yang datar, tanpa ritme sosial, tanpa sentuhan sejarah, dan tanpa ekosistem ekonomi yang hidup.
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Kuningan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap arah pembangunan tata ruangnya. Kota tidak bisa dibangun sekadar dengan beton dan taman-taman kaku. Kota harus dirancang sebagai ruang hidup—tempat bertemunya sejarah, ekonomi rakyat, dan dinamika sosial secara harmonis.
Relokasi Gedung Pemuda seharusnya menjadi momentum untuk membangun ulang visi kota secara inklusif dan berkesadaran sejarah. Ruang kota tidak boleh hanya menjadi etalase estetika, melainkan ruang adil yang berpihak pada rakyat dan akar budayanya. Sebab, bangunan memang bisa dipindah. Tapi sejarah—tak bisa dibongkar pasang begitu saja.
RENIS AMARULLOH
KETUA UMUM
PC IMM KABUPATEN KUNINGAN