Gemerlap Tour de Linggarjati 2025 hanya menyisakan kebanggaan sesaat. Infrastruktur diperbaiki secara tambal sulam di lintasan balap, APBD tetap terbebani, manfaat ekonomi dinikmati segelintir pihak, masyarakat terganggu aktivitasnya, risiko ekologis luput dari perhatian, sementara tradisi budaya seperti Saptonan justru tersisihkan di tanah kelahirannya sendiri.
Infrastruktur dan Beban APBD
KUNINGAN, (VOX) Pemerintah Kabupaten Kuningan kembali menggelar ajang balap sepeda Tour de Linggarjati 2025 sebagai bagian dari peringatan Hari Jadi ke 527 Kabupaten Kuningan. Namun di tengah kondisi fiskal dan sosial yang masih penuh keterbatasan, penyelenggaraan kegiatan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak terutama Aktivis Masyarakat Peduli Kuningan atau MPK.
Dalih bahwa TDL tidak membebani APBD karena mengandalkan sponsor dinilai menyesatkan. Pasalnya perbaikan ruas jalan di sepanjang lintasan tetap menggunakan dana daerah sementara ribuan ruas lainnya dibiarkan rusak tanpa penanganan. Fakta ini menunjukkan adanya beban tersembunyi pada APBD sekaligus ironi di tengah kebutuhan masyarakat yang jauh lebih mendesak ungkap Aktivis MPK.
Rute TDL sendiri membentang sepanjang kurang lebih 111 km melintasi 17 kecamatan ditambah kategori Kriterium sejauh 2,9 km di pusat kota serta Fun Bike sekitar 20 km. Meski panjang dan menantang manfaat ekonomi yang muncul dianggap hanya sesaat dan dirasakan oleh segelintir pihak seperti hotel dan restoran.
Manfaat Ekonomi yang Timpang
Data pariwisata bahkan memperlihatkan paradoks pada 2023 kunjungan wisatawan memang mencapai 2,4 juta orang dan melampaui target namun kontribusi wisatawan mancanegara masih sangat kecil hanya 35 orang pada 2022. Angka ini memperlihatkan potensi wisata belum sepenuhnya tergarap secara strategis.
Dengan demikian gemerlap Tour de Linggarjati tidak otomatis berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dampak ekonomi hanya terasa pada kelompok terbatas sementara masyarakat luas tetap menghadapi keterbatasan fasilitas dan akses.
Lebih jauh kritik juga diarahkan pada dampak sosial dan budaya. Aktivitas masyarakat terganggu akibat penutupan jalan risiko ekologis belum terantisipasi dan tradisi budaya lokal seperti Saptonan justru dihilangkan dengan alasan modernisasi.
Budaya Tersisihkan Rakyat Terabaikan
Padahal Saptonan merupakan warisan turun temurun yang memiliki nilai historis sosial dan kultural yang jauh lebih otentik bagi masyarakat Kuningan. Hilangnya ruang bagi tradisi lokal ini menunjukkan bias pembangunan yang lebih menekankan pencitraan seremonial dibanding pelestarian identitas kultural.
Tour de Linggarjati lebih terlihat sebagai ajang pencitraan dan prestise seremonial dibanding menjawab kebutuhan rakyat seperti perbaikan infrastruktur pendidikan kesehatan dan pelestarian budaya tegas MPK.
Aktivis menambahkan pertanyaan mendasar harus dijawab secara jujur apa urgensi Tour de Linggarjati di tengah keterbatasan nyata rakyat Kuningan sekadar kebanggaan sesaat atau benar benar mampu memberi dampak strategis bagi kesejahteraan masyarakat.
(FW)