KUNINGAN, (VOX) — Kisah memilukan datang dari Dusun Sukaraja, Desa Sukarapih, Kabupaten Kuningan. DW (Selasa, 29/07), seorang siswi SMP, terpaksa menahan rasa sakit akibat kondisi medis akut seperti pusing hebat, muntah, dan iritasi kulit kepala yang mengakibatkan kerontokan rambut. Namun, lebih menyakitkan lagi, upayanya mendapatkan layanan kesehatan melalui BPJS justru kandas karena masalah administratif.
DW ternyata terdaftar sebagai peserta BPJS yang didanai oleh APBD Kota Bekasi, bukan Kabupaten Kuningan tempat ia saat ini berdomisili. Ketika hendak berobat ke Puskesmas, sistem menolak klaim BPJS miliknya. Untuk dapat berpindah kepesertaan, keluarganya diharuskan mengurus sejumlah dokumen dan memenuhi persyaratan yang tidak mudah, terutama dalam kondisi darurat dan keterbatasan ekonomi.
Kasus ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan. Ketimpangan akses terhadap layanan dasar ini diperparah oleh kebijakan pencabutan sepihak terhadap lebih dari 340.000 peserta Penerima Iuran Bantuan (PIB), yang mayoritas berasal dari kalangan miskin.
Ketika Amanat Konstitusi Tak Terealisasi
Kondisi DW dan ribuan kasus serupa menunjukkan betapa lemahnya kehadiran negara dalam menjamin hak dasar warga negara, sebagaimana diamanatkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Sayangnya, praktik di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Alih-alih menjadi pelindung dan penjamin, sistem BPJS justru sering kali menjadi penghalang. Prosedur administratif yang berbelit, verifikasi data yang kaku, dan lemahnya koordinasi antarwilayah menjadikan warga miskin seperti DW semakin tersisih dari haknya untuk sehat dan hidup layak.
Masyarakat Bergerak, Negara Diam
Dalam keprihatinan mendalam, sejumlah elemen masyarakat turun tangan. Masyarakat Peduli Kuningan (MPK), bersama aparat desa serta relawan kemanusiaan Ernawati, menyambangi langsung keluarga DW. Mereka memberikan dukungan moral dan bantuan awal untuk penanganan kesehatan.
Namun demikian, MPK menegaskan bahwa solidaritas warga bukanlah solusi struktural. Ketidakhadiran negara tidak boleh digantikan oleh kebaikan hati masyarakat semata. Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, baik di tingkat daerah maupun pusat, harus hadir aktif, cepat, dan empatik dalam menjamin akses layanan kesehatan untuk warga miskin, tanpa terkendala wilayah administratif atau kelalaian sistem data.
Desak Reformasi Sistemik BPJS
Menanggapi hal ini, MPK mendorong perlunya pembenahan menyeluruh terhadap sistem BPJS Kesehatan. Beberapa langkah strategis yang diusulkan antara lain:
-Sinkronisasi data kepesertaan lintas wilayah secara nasional,
-Mekanisme darurat untuk aktivasi ulang kepesertaan bagi warga miskin,
-Kebijakan afirmatif yang mengutamakan pelayanan bagi anak-anak, penyandang masalah sosial, dan kelompok rentan lainnya.
MPK juga mengajak akademisi, tokoh agama, komunitas profesi, serta media massa untuk bersama-sama mengawal reformasi jaminan sosial sebagai bagian dari perjuangan menegakkan keadilan sosial.
“Karena kesehatan bukan sekadar layanan tetapi hak asasi manusia. Dan hak asasi tidak boleh tunduk pada birokrasi yang gagal memahami realitas rakyat,” tegas pernyataan MPK.
Kasus DW hanyalah satu dari banyak cerita yang terlupakan. Namun dari satu kisah inilah, suara perubahan bisa dimulai.
.Abu Azzam