Krisis Moral Meluas: Dari DPRD ke LGBT dan Pelecehan di Sekolah, Kuningan Butuh Tindakan Tegas


KUNINGAN, (VOX) – Aksi pembubaran kerumunan yang diduga merupakan komunitas LGBT di kawasan Pasar Kepuh, Kabupaten Kuningan, mendadak viral dan memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Tindakan ini dilakukan secara spontan oleh salah satu warga berinisial F, yang diketahui merupakan atlet tinju lokal. Kejadian tersebut memantik respons luas, baik dari masyarakat maupun organisasi masyarakat sipil, termasuk Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan (FMPK) Kabupaten Kuningan.


Menurut keterangan F, aksi tersebut dilakukan karena dirinya merasa jengah terhadap maraknya aktivitas komunitas LGBT di ruang-ruang publik, khususnya di sekitar Pasar Kepuh. Dalam kesaksiannya, F mengungkapkan keresahan pribadi dan pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya.


“Kadang suka melakukan pelecehan pada laki-laki normal, seperti cat calling dan eye contact. Saya sendiri sering diperlakukan begitu sama mereka. Cuman kadang respons saya hanya acuh,” ungkap F.


F mengaku terganggu dengan keberadaan grup online komunitas LGBT yang jumlah anggotanya mencapai ribuan. Ia menyebut bahwa komunitas ini semakin berani menunjukkan eksistensinya di tempat umum, yang menurutnya kerap mengganggu kenyamanan warga lainnya.


Meski tindakan tersebut menuai kritik karena dianggap dilakukan tanpa koordinasi dengan aparat terkait, FMPK menyatakan sikapnya yang mendukung tindakan spontan tersebut sebagai bentuk ekspresi kekecewaan masyarakat atas lemahnya respons pemerintah daerah.


Sekretaris FMPK Kabupaten Kuningan, Luqman Maulana, menegaskan bahwa aksi ini seharusnya menjadi ALARM bagi semua pihak, terutama Pemda, yang dinilai lamban dalam menangani persoalan moralitas publik.


“Terlepas dari pro-kontra terhadap tindakan warga, kami dari FMPK mengapresiasi sikap spontan masyarakat yang merasa perlu menjaga nama baik Kuningan. Ini bentuk keprihatinan atas absennya aksi nyata dari Pemda, tokoh agama, maupun ormas-ormas keagamaan dalam menghadapi fenomena sosial seperti LGBT yang semakin terbuka di ruang publik,” jelas Luqman.


FMPK sendiri mengaku telah dua kali mengadakan audiensi dengan DPRD Kabupaten Kuningan guna menyuarakan keresahan masyarakat terkait maraknya fenomena LGBT dan penyakit sosial lainnya. Namun menurut Luqman, tak ada langkah konkret yang diambil oleh pemerintah setelah audiensi tersebut. Bahkan dalam pertemuan itu, pihak Dinas Sosial juga telah menyampaikan kondisi faktual tentang maraknya penyakit sosial di Kuningan, namun tetap tidak ada tindak lanjut.


“Kami sudah berulang kali mengingatkan, jangan sampai karena diamnya pemerintah, muncul aksi sweeping dari warga. Ini bentuk kegagalan pemerintah dalam memberi rasa aman dan nyaman di ruang publik,” tegasnya.


Krisis Moral yang Lebih Luas: Bukan Sekadar LGBT


Lebih lanjut, Luqman menekankan bahwa fenomena sosial yang terjadi bukan hanya tentang keberadaan komunitas LGBT. Menurutnya, kondisi saat ini menjadi ALARM SERIUS bagi Kabupaten Kuningan bahwa penyakit sosial sudah meluas dan menyentuh berbagai sektor, termasuk pejabat publik, pendidikan, dan birokrasi.


“Krisis moral ini bukan hanya LGBT. Di saat masyarakat resah dengan maraknya perilaku menyimpang di ruang publik, kita juga menyaksikan bagaimana moral para pejabat publik runtuh satu per satu,” ungkap Luqman.


Ia mencontohkan adanya kasus dugaan pelanggaran etika oleh anggota DPRD Kuningan yang saat ini sedang diproses oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD, sebagai bagian dari krisis moral yang menggerogoti lembaga legislatif daerah.


Lebih miris lagi, menurut Luqman, krisis ini juga sudah menyusup ke dunia pendidikan dan pemerintahan tingkat desa. Ia menyinggung dua kasus yang sempat mencuat dan mencoreng nama Kuningan: pelecehan terhadap anak di bawah umur oleh seorang Kepala Desa dan kasus pelecehan seksual terhadap siswa di salah satu SMA Negeri di Kuningan yang dilakukan oleh oknum guru.


“Kalau tidak ada tindakan tegas dan nyata, krisis moral ini akan terus membesar. Bukan hanya di kalangan masyarakat biasa, tapi juga di lingkup birokrasi, lembaga pendidikan, dan para pejabat publik. Dan itu jauh lebih berbahaya,” tambahnya.



*Tanggung Jawab Bersama: Pemerintah Jangan Bungkam*


Peristiwa di Pasar Kepuh ini membuka kembali diskusi mengenai sejauh mana keterlibatan pemerintah daerah dalam merespons gejala sosial yang dianggap menyimpang menurut norma masyarakat setempat. Banyak yang mempertanyakan di mana posisi pemerintah dan tokoh masyarakat dalam menengahi polemik antara hak individu dan nilai-nilai sosial masyarakat.


FMPK menyampaikan bahwa sikap diam dari pejabat publik dan tokoh agama justru menjadi pemantik dari gerakan spontan masyarakat yang merasa ditinggalkan. Menurut Luqman, jika tidak segera ditindaklanjuti, potensi konflik horizontal bisa meningkat.


“Kejadian ini bukan hanya soal LGBT. Ini tentang krisis moral dan krisis kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan nilai sosial. Jika pemerintah tetap diam, maka jangan salahkan masyarakat jika akhirnya mereka bertindak sendiri,” tandasnya.


Menjaga Moral atau Memicu Konflik?


Setelah heboh krisis moral di DPRD, peristiwa di Pasar Kepuh menunjukkan bahwa permasalahan sosial tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembiaran atau seruan moral. Diperlukan tindakan nyata, regulasi yang adil, dan keterlibatan aktif seluruh elemen—pemerintah, masyarakat, tokoh agama, hingga dunia pendidikan—untuk mencegah krisis moral yang lebih luas.


Tantangannya bukan hanya menertibkan satu kelompok, melainkan bagaimana seluruh tatanan masyarakat kembali menjunjung nilai etika, tanggung jawab, dan keadaban publik.


.Abu Azzam