Post ADS 1
Post ADS 1

Demokrasi Kolor Ijo

 

Demokrasi yang Berubah Jadi Bayangan Gelap


Demokrasi selalu diagung-agungkan sebagai puncak peradaban politik, sebuah sistem yang menjanjikan kedaulatan rakyat, perlindungan hak asasi, dan keadilan sosial. Namun, realitas hari ini justru menampilkan wajah yang menakutkan. Demokrasi kita tidak lagi menjadi cahaya yang menenteramkan, melainkan bayangan gelap yang menghantui. Ia menyerupai sosok Kolor Ijo dalam cerita rakyat yakni sesosok makhluk misterius yang datang tiba-tiba, memperkosa tanpa izin, menebar teror, lalu menghilang meninggalkan luka. Demokrasi yang semestinya melindungi rakyat, kini justru menakuti dan melukai mereka.


Metafora Kolor Ijo dan Elite Politik


Kolor Ijo selalu digambarkan sebagai sosok yang muncul dari kegelapan malam, mengintai perempuan-perempuan lemah, merampas kehormatan mereka tanpa persetujuan, lalu pergi meninggalkan trauma yang membekas seumur hidup. Inilah metafora paling tepat bagi demokrasi kita hari ini. Elite politik, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru hadir sebagai predator. Mereka datang dengan janji manis menjelang pemilu, menebar rayuan dengan baliho dan pidato, tetapi di balik semua itu tersimpan nafsu kekuasaan. Begitu kursi diraih, rakyat hanya tinggal tubuh tak berdaya yang diperkosa melalui kebijakan yang menjerat, hukum yang dimanipulasi, dan konstitusi yang direkayasa.


Demokrasi yang Menindas, Bukan Membebaskan


Demokrasi yang idealnya membuka ruang partisipasi rakyat justru menjelma kekuatan yang menakutkan. Demonstrasi dihadapi dengan represi, kritik dibungkam dengan ancaman, media dikekang dengan tekanan. Demokrasi yang seharusnya membebaskan justru memperbudak. Ia hadir bukan sebagai rumah aman, tetapi sebagai lorong gelap di mana rakyat harus berjalan dengan rasa takut, seperti perempuan yang selalu was-was melangkah di malam hari karena bayangan Kolor Ijo mengintai.


Tragedi Affan: Bukti Telanjang Luka Demokrasi


Tragedi kematian Affan, seorang pengemudi ojek online, adalah bukti paling telanjang dari bagaimana demokrasi yang diperkosa telah berubah menjadi teror nyata. Affan bukan politisi, bukan penguasa, bukan orang berpengaruh. Ia hanyalah rakyat biasa, seorang anak muda yang sehari-hari mencari nafkah di jalanan untuk membantu ibunya. Namun, dalam aksi protes yang seharusnya menjadi ekspresi sah dalam demokrasi, nyawanya justru direnggut. Tubuhnya menjadi korban kekerasan, hidupnya dipatahkan oleh tangan-tangan aparat yang mestinya melindungi.


Demokrasi yang Kehilangan Akal Sehat


Kematian Affan membuktikan bahwa demokrasi kita sudah kehilangan akal sehat. Demokrasi yang konon menjamin kebebasan berpendapat justru berubah menjadi mesin pembunuh bagi warganya sendiri. Sama seperti Kolor Ijo yang menyerang tanpa ampun, demokrasi yang dikuasai elite hari ini memperkosa hak paling dasar rakyat yakni hak untuk hidup. Apa yang dialami Affan bukanlah kecelakaan semata, melainkan hasil dari sistem politik yang membiarkan kekuasaan bergerak tanpa kontrol. Demokrasi, dalam wajahnya yang sekarang, bukan lagi pelindung, melainkan predator.


Demokrasi Kosong dan Klaim Palsu


Ironinya, tragedi ini terjadi di tengah klaim bahwa demokrasi Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. Klaim itu kosong, karena di baliknya rakyat justru terus diperkosa. Suara mereka hanya dihitung saat pemilu, tetapi setelah itu dibuang. Kedaulatan yang seharusnya ada di tangan rakyat dipindahkan ke meja elite yang bermain dengan angka, lobi, dan kepentingan. Demokrasi kita bukan lagi tentang rakyat, melainkan tentang segelintir orang yang terus memperkosa sistem untuk melanggengkan kuasa.


Luka Kolektif yang Berulang


Seperti korban Kolor Ijo yang hidup dengan trauma panjang, rakyat pun hidup dalam ketakutan yang tak kunjung sembuh. Setiap kali pemilu datang, yang teringat bukan harapan, melainkan luka yakni janji yang tidak ditepati, suara yang dikhianati, kebijakan yang menyengsarakan. Demokrasi yang seharusnya menjadi pesta rakyat justru menjadi upacara pemerkosaan berulang. Rakyat datang, memberikan suaranya dengan ikhlas, tetapi yang mereka terima hanyalah pengkhianatan dan penindasan. Demokrasi, yang mestinya melahirkan kebebasan, justru menjadi sumber apatisme dan ketidakpercayaan.


Peringatan Keras: Demokrasi Kolor Ijo


Kematian Affan harus dibaca sebagai peringatan keras. Demokrasi yang kita jalani bukan lagi demokrasi rakyat, melainkan demokrasi Kolor Ijo, sebuah sistem yang mengintai, menakutkan, memperkosa, dan membunuh. Ia akan terus menghantui jika rakyat tetap diam. Seperti hantu Kolor Ijo yang hanya bisa dikalahkan dengan keberanian kolektif untuk menyalakan terang, demokrasi Kolor Ijo hanya bisa dihentikan dengan keberanian rakyat merebut kembali kedaulatan.


Rakyat Harus Merebut Kedaulatan


Rakyat tidak boleh terus menjadi tubuh yang diperkosa. Mereka harus bangkit sebagai subjek politik yang menolak manipulasi, menolak represi, dan menolak dijadikan korban. Demokrasi sejati tidak mungkin lahir dari elite yang terus memperkosanya, demokrasi hanya akan hidup kembali jika rakyat sendiri yang merebutnya. Itu artinya, rakyat harus berani bersuara, berani melawan politik uang, berani mengawasi aparat, dan berani menolak undang-undang yang menindas.


Dari Mitos ke Realitas Pahit


Kolor Ijo mungkin hanya mitos, tetapi demokrasi Kolor Ijo adalah kenyataan pahit yang kita hadapi hari ini. Ia telah menelan korban nyata seperti Affan, dan akan terus menelan korban lain jika dibiarkan. Maka tugas kita bukan sekadar menceritakan kisah ini, melainkan memastikan demokrasi tidak lagi menjadi pemerkosa yang menakutkan. Demokrasi harus kita rebut kembali sebagai cahaya yang menenteramkan, sebagai rumah bersama yang melindungi, bukan sebagai hantu yang merenggut nyawa rakyat kecil di jalanan.


Oleh : Imam Royani

Editor : Farid Winartono

banner
Post ADS 2