Post ADS 1
Post ADS 1

Dapur MBG Cigadung Diterpa Isu Ketenagakerjaan, Pekerja Pertanyakan Upah dan Jam Kerja

(Ilustrasi Pekerja di SPPG / Foto: Net)

KUNINGAN, (VOX) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali disorot. Kali ini, persoalan yang muncul bukan hanya soal kualitas makanan, melainkan juga menyangkut nasib para pekerja dapur.


Seorang pekerja di dapur MBG Cigadung, yang meminta identitasnya dirahasiakan, menyampaikan keluhan terkait upah dan jam kerja. Menurut pengakuannya, para pekerja hanya digaji Rp85.000 per hari, padahal dalam Petunjuk Teknis (Juknis) MBG sudah jelas diatur bahwa pekerja mendapatkan Rp100.000 per hari.


Selain upah yang dinilai tidak sesuai, para pekerja juga menyoroti jam kerja yang tidak jelas. Dalam percakapan dengan Vox, pekerja tersebut mengungkapkan bahwa ada yang masuk kerja pukul 3 sore dan baru selesai pukul 2 malam. Artinya, mereka bekerja hingga 11 jam, atau tiga jam lebih lama dari ketentuan yang berlaku.


“Jam kerjanya ga jelas. Kan aturannya 8 jam, tapi ini bisa sampai lebih 3 jam. Nah, kalau lebih dari 8 jam itu masuk lembur atau gimana? Soalnya sampai sekarang ga ada kejelasan,” ungkap pekerja tersebut.


Menanggapi hal tersebut, seorang pemerhati ketenagakerjaan di Kuningan yang juga mantan manajer perusahaan swasta menegaskan bahwa kondisi tersebut tidak sejalan dengan ketentuan undang-undang.


Menurutnya, dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 jo. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, aturan mengenai upah dan jam kerja sudah sangat jelas.


“Kalau juknis program sudah menetapkan Rp100.000 per hari, tapi kenyataannya dibayar Rp85.000, itu jelas melanggar hak pekerja. Begitu juga soal jam kerja, undang-undang menetapkan maksimal 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kalau lebih dari itu, harus dihitung sebagai lembur dengan upah tambahan. Kalau lemburnya tidak dibayar, berarti pelanggaran hak normatif pekerja,” jelasnya.


Ia juga menambahkan, pekerja harian lepas tidak bisa terus-menerus dipekerjakan setiap hari. Berdasarkan Permenakertrans No. 100 Tahun 2004, jika pekerja harian lepas bekerja 21 hari atau lebih dalam sebulan selama tiga bulan berturut-turut, status mereka otomatis berubah menjadi pekerja tetap dengan hak penuh.


“Jangan sampai program pemerintah justru jadi ladang pelanggaran aturan ketenagakerjaan. Ini bukan hanya masalah moral, tapi sudah menyangkut hukum. Badan Badan Perlindungan Pekerja dan Pengawas ketenagakerjaan seharusnya turun tangan, karena percepatan pun tidak boleh menabrak regulasi yang sudah ada.” tegasnya.


Jika keluhan pekerja ini benar adanya, maka pengelola dapur MBG bisa dikategorikan melakukan pelanggaran hak normatif pekerja. Persoalan ini bukan lagi sekadar teknis dapur, melainkan menyentuh ranah hukum yang bisa berimplikasi pada sanksi administratif hingga pidana.


.RedVox

banner