KUNINGAN, (VOX) — Gejolak politik dan sosial di Indonesia menimbulkan pertanyaan serius: apakah bangsa ini masih berada dalam rel demokrasi yang sehat, atau sudah terjerumus dalam democrazy, kegilaan politik yang membungkus oligarki dengan retorika demokrasi.
Elit Politik Menikmati, Rakyat Terlupakan
Fenomena kesenjangan semakin jelas terlihat. Di satu sisi, para wakil rakyat menikmati berbagai tunjangan fantastis, termasuk tunjangan rumah yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan. Angka ini sangat kontras dengan kenyataan di lapangan, ketika rakyat masih harus berjuang memenuhi kebutuhan pokok yang terus melonjak.
Sementara itu, di luar gedung parlemen, masyarakat harus berjibaku menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), harga kebutuhan yang mencekik, dan biaya pendidikan maupun kesehatan yang kian berat. Demokrasi yang idealnya menghadirkan pemerataan kesejahteraan justru menjelma mesin distribusi rente bagi segelintir elit.
Kondisi ini memunculkan kritik keras dari pengamat politik dan aktivis masyarakat sipil. Mereka menilai demokrasi telah kehilangan arah dan fungsi, karena hanya dimanfaatkan sebagai instrumen legitimasi elit. Rakyat yang seharusnya menjadi subjek utama malah terpinggirkan dan dipaksa menerima kenyataan pahit.
Di titik inilah istilah democrazy muncul: sebuah demokrasi yang gila, yang menjauh dari nilai-nilai keadilan sosial. Demokrasi yang hanya memberi kenyamanan bagi segelintir penguasa, sementara penderitaan rakyat dibiarkan terus menganga.
Tragedi Affan, Simbol Kehilangan Jiwa Demokrasi
Kasus meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, menjadi gambaran paling kejam dari wajah suram demokrasi Indonesia hari ini. Affan tewas dalam sebuah insiden saat aparat melakukan tindakan represif terhadap massa aksi. Nyawanya melayang hanya karena dianggap menghalangi jalannya kendaraan taktis aparat.
Peristiwa ini memicu kemarahan publik dan menjadi simbol nyata bahwa demokrasi di Indonesia telah kehilangan jiwanya. Aparat yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi mesin represi. Negara yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia ternyata mudah mengorbankan rakyat kecil atas nama stabilitas semu.
Aktivis HAM menyebut, kematian Affan adalah potret dari demokrasi tanpa kemanusiaan. Demokrasi seperti itu hanya melahirkan rasa takut, bukan rasa percaya. Ketika rakyat kecil menjadi korban yang paling mudah dikorbankan, jelas bahwa sistem sudah melenceng jauh dari cita-cita reformasi.
Keluarga korban dan masyarakat sipil kini menuntut keadilan, sekaligus mempertanyakan keberpihakan negara. Tragedi ini menambah daftar panjang kegagalan demokrasi dalam memberikan rasa aman dan keadilan bagi rakyatnya sendiri.
Ledakan Sosial dan Putus Asa Rakyat
Ledakan sosial dalam bentuk penjarahan, perusakan, dan pembakaran yang marak di berbagai daerah memang tidak bisa dibenarkan. Namun, peristiwa ini justru mencerminkan betapa dalamnya jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Ketika kanal aspirasi dibatasi, maka suara rakyat akhirnya meledak dalam bentuk paling destruktif.
Aksi-aksi tersebut menunjukkan bahwa rakyat sudah kehilangan saluran formal untuk menyampaikan aspirasinya. Parlemen tidak lagi dianggap mewakili kepentingan mereka, aparat justru menakut-nakuti, dan pemerintah lebih sibuk menjaga citra ketimbang mendengar jeritan.
Dalam situasi ini, keputusasaan rakyat bertransformasi menjadi amarah. Mereka merasa dikhianati oleh sistem yang mestinya hadir untuk melindungi. Akibatnya, protes yang semula damai berubah menjadi kekerasan yang sulit dikendalikan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa demokrasi tanpa ruang partisipasi sejati hanyalah formalitas. Ketika rakyat tidak lagi percaya pada institusi, maka yang tersisa hanyalah jalan kekerasan sebagai ekspresi terakhir dari kekecewaan.
Demokrasi Menjadi Sandiwara Politik
Sejumlah pengamat menyebut, demokrasi Indonesia kini tidak lebih dari sebuah teater politik. Para elit sibuk memainkan peran masing-masing di panggung, sementara rakyat dipaksa menonton tanpa pernah dilibatkan dalam penulisan naskah.
Wakil rakyat lebih sibuk menjaga fasilitas mewah ketimbang menjaga amanah. Pemerintah lebih mengutamakan citra di mata investor asing daripada penderitaan rakyatnya. Aparat lebih loyal pada perintah atasan dibanding pada prinsip dasar melindungi warga negara.
Akibatnya, demokrasi kehilangan substansinya. Ia hanya menjadi prosedur formal yang kosong makna. Pemilu tetap berjalan, partai tetap aktif, tetapi roh keadilan dan partisipasi hilang entah ke mana.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat merasa tidak lebih dari figuran dalam sebuah drama besar yang dimainkan oleh elit politik. Mereka dipaksa menerima keputusan tanpa pernah benar-benar dilibatkan. Demokrasi pun berubah menjadi sandiwara yang memalukan.
Ancaman Kehancuran dan Jalan Keluar
Sejarah dunia sudah memberi banyak contoh tentang negara-negara yang terjebak dalam democrazy. Venezuela yang jatuh ke tirani meski mengaku demokratis, Filipina yang dikuasai populisme yang memperalat hukum, hingga Thailand yang berkali-kali terseret dalam demokrasi semu kendali militer.
Indonesia kini disebut-sebut berada di jalur yang sama. Jika demokrasi terus diperlakukan sebagai formalitas prosedural, maka cepat atau lambat bangsa ini akan menanggung keruntuhan serupa. Demokrasi hanya akan hidup di atas kertas, sementara praktik otoritarian semakin menguat di lapangan.
Namun, masih ada jalan keluar. Demokrasi bisa dikembalikan ke esensinya: sebagai ruang dialog sehat, instrumen koreksi kebijakan, dan jembatan menuju keadilan sosial. Jalan ini memang sulit, penuh risiko, tetapi merupakan satu-satunya harapan.
Pertanyaannya kini, apakah bangsa ini berani memilih jalan tersebut. Apakah elit politik mau merendahkan diri mendengar rakyat, ataukah mereka akan terus menutup telinga dan membiarkan democrazy berkuasa. Jika tidak, maka topeng demokrasi akan terus retak, hingga akhirnya runtuh sepenuhnya.
Oleh : Imam Royani
Editor : Farid Winartono