Di tengah derasnya arus informasi dan hiruk pikuk politik, ada satu hal yang terasa semakin terkikis dari ruang publik kita: empati. Kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, yang menjadi fondasi dasar interaksi manusia dan kohesi sosial, kini berada di titik yang mengkhawatirkan. Fenomena ini bukan sekadar masalah moral individu, melainkan telah menjelma menjadi krisis senyap yang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah tantangan ganda yang harus dihadapi, baik oleh para pemimpin maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Krisis ini termanifestasi dalam berbagai bentuk yang mudah kita saksikan sehari-hari. Di dunia maya, kolom komentar media sosial sering kali berubah menjadi ajang caci maki tanpa filter. Perbedaan pendapat, yang seharusnya menjadi vitamin demokrasi, kini dipandang sebagai alasan untuk saling merendahkan dan menyerang personal. Narasi "kami" melawan "mereka" terus-menerus diperuncing, menciptakan sekat-sekat tebal yang sulit ditembus oleh pemahaman dan welas asih. Korban bencana atau ketidakadilan tak jarang malah mendapat stigma dan dihakimi, sementara berita bohong yang membangkitkan amarah menyebar lebih cepat daripada klarifikasi yang menenangkan.
Akar masalahnya kompleks dan saling berkelindan. Pertama, algoritma media sosial secara inheren mendorong konten yang paling memancing reaksi emosional, sering kali yang negatif seperti kemarahan dan kebencian. Kita terkurung dalam "gelembung gema" (echo chamber), di mana pandangan kita terus-menerus divalidasi dan pandangan yang berbeda dianggap sebagai ancaman. Interaksi yang termediasi layar gawai ini juga mengurangi konsekuensi emosional langsung dari kata-kata kita, membuatnya lebih mudah untuk bersikap kejam.
Kedua, polarisasi politik yang tajam telah menggeser fokus dari kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan bersama menjadi pertarungan identitas yang tak berkesudahan. Para elite politik, sadar atau tidak, sering kali mengeksploitasi sentimen ini untuk keuntungan elektoral. Mereka menggunakan retorika yang memecah belah, melabeli lawan politik sebagai musuh, dan pada akhirnya menormalisasi kebencian di mata publik. Ketika pemimpin memberi contoh buruk, masyarakat pun rentan untuk mengikutinya.
Di sinilah letak tantangan pertama: bagi para pemimpin. Pemimpin di semua tingkatan, mulai dari kepala negara hingga tokoh masyarakat lokal, memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk merajut kembali tenun kebangsaan yang terkoyak. Ini bukan sekadar tugas untuk "menjaga persatuan" dalam pidato seremonial, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Mereka harus menjadi teladan dalam berdialog secara santun, mengakui kompleksitas masalah, dan yang terpenting, menunjukkan empati tulus kepada semua kelompok masyarakat, termasuk mereka yang tidak memilihnya. Kebijakan yang dihasilkan pun harus mencerminkan keberpihakan pada kelompok rentan dan didasari oleh semangat keadilan sosial, bukan sekadar kalkulasi politik jangka pendek.
Namun, menyalahkan pemimpin semata juga merupakan bentuk penyederhanaan masalah. Di sinilah tantangan kedua hadir: bagi masyarakat. Kita tidak bisa pasif menunggu datangnya pemimpin mesianik yang akan menyelesaikan semua masalah. Masyarakat sipil memiliki kekuatan untuk melawan erosi empati ini dari bawah.
Langkah kecil seperti berhenti sejenak sebelum berkomentar pedas di media sosial, mencoba membaca berita dari sumber dengan sudut pandang berbeda, atau terlibat aktif dalam kegiatan sosial di lingkungan sekitar dapat membuat perbedaan besar. Membangun jembatan dialog antar kelompok yang berbeda, baik secara daring maupun luring, adalah cara ampuh untuk memanusiakan kembali "pihak lain" yang selama ini hanya kita lihat sebagai karikatur. Pendidikan karakter dan kecerdasan emosional di sekolah dan keluarga juga menjadi investasi jangka panjang yang krusial.
Pada akhirnya, krisis empati adalah ancaman bagi demokrasi dan kemanusiaan kita. Masyarakat yang apatis dan penuh curiga adalah lahan subur bagi otoritarianisme dan konflik sosial. Tanpa empati, kita kehilangan kemampuan untuk bergotong royong menyelesaikan masalah-masalah besar bangsa, mulai dari kemiskinan, ketidaksetaraan, hingga krisis iklim.
Memulihkan empati publik adalah kerja kolektif yang menuntut kesadaran dan komitmen dari dua sisi. Pemimpin harus memimpin dengan hati nurani, dan masyarakat harus aktif merawat akal sehat dan welas asih. Jika tidak, kita berisiko menjadi masyarakat yang terhubung secara digital, tetapi terputus secara emosional; ramai dalam kebisingan, tetapi sunyi dalam kemanusiaan.
Penulis : Putra Al- Mizan
(Aliansi Cendekiawan Akar Rumput)
Editor : Farid Winartono