KUNINGAN, (VOX) — CIAYUMAJAKUNING Entrepreneur Festival 2025 yang digelar meriah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan menuai sorotan tajam. Di balik kemasan megah dan slogan pemberdayaan ekonomi rakyat, tersembunyi potret nyata diskriminasi, para pedagang kecil justru disingkirkan dari pusat kegiatan, sementara pelaku usaha besar diberi panggung utama.
Banyak Pedagang Kaki Lima (PKL), yang selama ini menjadi denyut nadi ekonomi kerakyatan, merasa hanya dijadikan pemanis latar. Mereka diposisikan di lokasi-lokasi sepi pengunjung, bahkan berpindah-pindah tanpa alasan logis. Janji awal untuk diberi ruang strategis tak lebih dari omong kosong.
“Kami sempat dijanjikan bisa jualan dekat area utama. Tapi setelah dekorasi selesai dan booth besar berdiri, kami justru disuruh pindah ke sudut belakang, seperti tak dianggap bagian dari acara,” ujar salah satu PKL yang enggan disebutkan namanya.
Alih-alih memberdayakan, festival ini justru memperkuat ketimpangan. Lokasi-lokasi premium di sekitar Pandapa Paramartha dikuasai kendaraan dan pelaku usaha besar. PKL? Digeser ke jalur sunyi tanpa fasilitas memadai.
“Parkir kendaraan justru ambil tempat utama. Akses masuk di depan steril dari kami. Kami hanya menjaring sisa pengunjung yang lewat belakang. Ya gimana mau laku?” kata seorang pedagang di sekitar PLN dengan nada getir.
PMII: Pemkab Sedang Menyulap Ketimpangan Jadi Festival
Ketua PMII Cabang Kuningan, Dhika Purbaya, tak menutup-nutupi kekecewaannya. Ia menyebut Pemkab gagal memahami makna inklusivitas dan hanya sibuk membungkus acara ini dalam citra populis semu.
“Narasi pemberdayaan ekonomi rakyat itu omong kosong kalau pelaku usaha kecil malah dikorbankan. Ini bukan festival rakyat, ini panggung kosmetik untuk elite dan investor,” tegasnya.
Menurut Dhika, festival ini lebih tampak sebagai pertunjukan visual dan sekadar etalase untuk pencitraan politik dan ekonomi. PKL hanya dijadikan alat legitimasi, bukan subjek pembangunan ekonomi.
“Kalau mau jujur, ini bukan soal tempat dagang saja. Ini cerminan cara pikir yang meminggirkan rakyat kecil dari proses pembangunan. Mereka dijadikan ornamen tanpa daya, bukan mitra sejajar,” tambahnya.
Untuk Siapa Sebenarnya Festival Ini?
Pertanyaan besar kini mengemuka, untuk siapa festival ini digelar? Jika benar untuk mendongkrak ekonomi rakyat, mengapa pelaku ekonomi kecil diletakkan di ujung-ujung tak terlihat? Mengapa akses mereka dibatasi, sementara booth besar dan branding korporasi mendominasi ruang utama?.
CIAYUMAJAKUNING Entrepreneur Festival 2025 sejatinya berpeluang menjadi etalase keberagaman usaha rakyat. Namun realitas di lapangan menunjukkan arah sebaliknya, marginalisasi, ketimpangan, dan kegagalan memahami keadilan ruang ekonomi.
Yang tersisa dari festival ini bukan semangat kolaborasi, melainkan jejak tanya dan luka kecil dari mereka yang mestinya diangkat, namun justru ditekan ke pinggir panggung./Red