KUNINGAN, (VOX) — Masyarakat Peduli Kuningan (MPK) kembali menyampaikan keprihatinan serius atas pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2025, khususnya pada jalur afirmasi bagi Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM). Indikasi penyimpangan administratif dan lemahnya validasi sosial-ekonomi dinilai telah mereduksi prinsip keadilan distribusi dan mengaburkan tujuan esensial kebijakan afirmatif dalam pendidikan.
Yudi Setiadi, aktivis dari MPK, menegaskan bahwa jalur KETM sejatinya dirancang sebagai bentuk intervensi negara bagi peserta didik dari keluarga prasejahtera yang tinggal di sekitar lingkungan satuan pendidikan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa jalur tersebut kerap dijadikan celah untuk menghindari sistem zonasi secara tidak proporsional.
“Jalur afirmasi bukan bypass bagi siswa dari luar zona. Ketika aksesnya dimanfaatkan oleh kelompok yang tidak sesuai sasaran, maka keadilan spasial dan ekonomi yang menjadi landasan kebijakan ini telah diabaikan,” tegas Yudi, Selasa (24/06/2025).
Data Empiris: Ketimpangan Spasial Jalur Afirmasi
MPK mengungkapkan temuan lapangan dari sejumlah SMA negeri unggulan di Kabupaten Kuningan yang memperlihatkan deviasi signifikan antara lokasi domisili peserta jalur KETM dan ketentuan zonasi:
SMA 1 Kuningan: 80 pendaftar KETM berasal dari wilayah seperti Cikijing, Harjamukti, dan Cibeureum, berjarak 20–28 km; melebihi batas zonasi maksimal 2,1 km.
SMA 2 Kuningan: 101 pendaftar KETM, dengan domisili terjauh di Darma (±11 km); sedangkan zona resmi hanya mencakup radius 1,2 km.
SMA 3 Kuningan: 94 pendaftar KETM, dengan jarak domisili terjauh mencapai 4 km dari Cigugur, sementara radius zonasi hanya 800 meter dari Awirarangan.
Menurut MPK, pola keterjadian seperti ini tidak lagi bersifat insidental, melainkan mengarah pada gejala sistematis yang melemahkan kredibilitas kebijakan afirmasi dan membuka ruang manipulasi kebijakan
Verifikasi Sosial-Ekonomi Dipertanyakan
MPK juga menyoroti lemahnya integrasi antara proses seleksi PPDB jalur KETM dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola Dinas Sosial. Ketiadaan verifikasi silang dengan data resmi tersebut dinilai membuka peluang besar terjadinya penyalahgunaan dokumen administratif.
“Kami menemukan peserta KETM yang tidak terdaftar dalam DTKS, namun tetap dinyatakan lolos. Hal ini patut dipertanyakan, terutama terkait mekanisme verifikasi dan otoritas lembaga yang mengeluarkan rekomendasi sosial-ekonomi,” ujar Yudi.
Surat keterangan tidak mampu yang hanya berbasis rekomendasi lokal tanpa penelusuran lebih lanjut dinilai sangat rawan disalahgunakan untuk memperoleh kuota afirmasi secara tidak sah
Rekomendasi MPK: Evaluasi Komprehensif dan Transparansi Proses
Sebagai bentuk komitmen terhadap keadilan dan integritas pendidikan, MPK merekomendasikan langkah-langkah korektif yang bersifat strategis kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan Cabang Dinas Wilayah X:
1. Melakukan evaluasi menyeluruh dan mendalam terhadap pelaksanaan jalur KETM di seluruh SMA negeri.
2. Mewajibkan verifikasi silang terhadap seluruh berkas afirmasi dengan DTKS dan sistem informasi kesejahteraan sosial yang sah.
3. Menjamin keterbukaan data peserta jalur afirmasi secara transparan termasuk asal domisili, status sosial-ekonomi, dan proses verifikasi.
“Kami tidak menolak jalur afirmasi. Namun kami menolak afirmasi yang disalahgunakan sebagai instrumen penghindaran aturan zonasi. Ketika afirmasi tidak tepat sasaran, maka yang paling dirugikan adalah anak-anak dari keluarga yang benar-benar membutuhkan, yang seharusnya menjadi prioritas utama,” pungkas Yudi./AS