KUNINGAN, (VOX) - DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kabupaten Kuningan melalui ketua nya Asep Papay dan Ketua Bapilunya Abas Yusuf menyampaikan keprihatinan mendalam atas terungkapnya praktik penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dilakukan secara masif dan terstruktur di Kabupaten Kuningan baik di Sekolah Dasar / Madrasah terutama di wilayah Timur Kabupaten Kuningan.
Berdasarkan bukti-bukti dan laporan yang diterima dari masyarakat, praktik ini melibatkan sebuah penerbit lokal dengan inisial CV “L”, yang dipimpin oleh individu berinisial “BH”, dan telah mengoordinasikan distribusi LKS ke sejumlah sekolah yang diduga melalui jaringan informal yang melibatkan oknum kepala sekolah dan kelompoknya.
Salah satu bukti yang ditemukan adalah percakapan di grup WhatsApp internal sekolah, di mana seorang kepala sekolah secara terang memberikan arahan kepada bawahannya:
"Apabila ada Media/LSM menanyakan LKS, bilang saja titipan ‘BH’ di Kuningan."
Pernyataan tersebut tidak hanya menunjukkan upaya untuk menutupi praktik yang bermasalah, tetapi juga menguatkan dugaan bahwa proses distribusi LKS ini
tidak transparan dan tidak melalui mekanisme resmi dinas pendidikan / kementrian agama.
Hal ini juga dibuktikan sendiri oleh anggota PSI Kuningan yang membeli LKS tersebut di berbagai tempat, ada yang di sekolah, fotokopi, warung kelontong, rumah warga bahkan yang paling tidak masuk akal di warung sayuran.
Pelanggaran Terhadap Aturan dan Etika Pendidikan
DPD PSI Kuningan menilai bahwa:
Penjualan LKS ini melanggar Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah yang secara tegas melarang guru dan kepala sekolah menjual buku kepada siswa.
Menyalahi prinsip pendidikan dasar yang wajib dan gratis sebagaimana amanat Pasal 34 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bertentangan dengan semangat integritas ASN dan potensi melanggar aturan disiplin PNS sebagaimana diatur dalam PP No. 94 Tahun 2021.
Melanggar surat edaran Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan, terkait larangan penjualan LKS di Satuan Pendidikan Di bawah naungan Disdik Kuningan.
Diduga melibatkan unsur pungutan liar, mengingat aktifnya peran dari oknum oknum kepala sekolah dan kelompoknya.
Yang lebih memprihatinkan, meski LKS tidak diwajibkan secara eksplisit, anak-anak yang tidak membeli LKS diberi beban tambahan seperti harus menyalin materi secara manual untuk belajar di rumah, sebuah bentuk diskriminasi terselubung terhadap siswa dari keluarga tidak mampu.
Komitmen Pemimpin Daerah: Pendidikan Bukan Komoditas
DPD PSI mengingatkan bahwa praktik seperti ini sangat bertentangan dengan komitmen Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang secara tegas menyatakan bahwa:
“Anak-anak Jawa Barat harus belajar tanpa beban biaya. Jangan ada lagi siswa yang dijadikan objek material.”ujar gubernur.
Hal serupa juga menjadi prioritas Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si, yang dalam berbagai kesempatan menegaskan komitmennya terhadap pendidikan yang gratis, adil, dan inklusif.
PSI meyakini bahwa kedua pemimpin tersebut tidak akan membiarkan pendidikan menjadi ladang bisnis tersembunyi, apalagi jika mengorbankan hak-hak anak didik.
Tuntutan PSI dan Langkah Nyata
DPD PSI Kabupaten Kuningan menyampaikan tuntutan sebagai berikut:
1. Menghentikan seluruh aktivitas distribusi dan penjualan LKS.
2. Memeriksa peran BH dan struktur distribusi LKS di lapangan, termasuk dugaan aliran dana ke oknum kepala sekolah dan Kelompoknya.
3. Mengembalikan seluruh dana pembelian LKS yang telah dibayarkan oleh orang tua siswa.
4. Melakukan audit khusus untuk memastikan tidak ada pelanggaran serupa di sekolah-sekolah lain.
5. Menindak ASN yang terlibat dalam pelanggaran etik dan administrasi sesuai peraturan perundang-undangan.
Solusi Alternatif untuk Pembelajaran di Rumah
Sebagai solusi nyata dan mendesak, PSI juga merekomendasikan agar:
Buku Paket yang dibeli sekolah melalui dana BOS bisa dibawa pulang oleh siswa, untuk belajar di rumah.
Materi pembelajaran disediakan dalam format digital atau fotokopi yang dibiayai oleh Dana BOS, tanpa memungut biaya dari orang tua.
Guru diberikan kebebasan menyusun modul pembelajaran alternatif yang relevan, hemat, dan mudah diakses oleh seluruh siswa tanpa diskriminasi.
Pemerintah daerah membuka akses terhadap perpustakaan digital dan rumah belajar daring, serta mendorong kolaborasi dengan UPZ atau lembaga sosial untuk mencetak materi bagi siswa tidak mampu.
“Kami ingin menyuarakan suara hati orang tua di desa-desa. Anak-anak mereka tidak boleh terus menjadi korban sistem pendidikan yang diam diam diperdagangkan. Pendidikan adalah hak, bukan barang dagangan. Dan kami akan terus berdiri bersama rakyat untuk memastikan keadilan ini ditegakkan,”tutup Ketua Bapilu PSI Abas Yusuf.